kesultanan serdang
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta
kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di
pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang
ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan
Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain.
Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan
kekuasaannya pada aparat Republik
B. Tujuan Penulisan
Karya ini disusun bertujuan untuk mengulas kembali tentang kesultanan
serdang yang ada di Sumatra timur. Juga untuk memberikan gambaran bagaimana
keadaan kehidupan masyarakat Sumatra timur pada masa kesultanan serdang,
bagaimana kehidupan social, budaya, maupun politiknya.
C. Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dalam makalah ini yaitu ( khususnya bagi mahasiswa )
agar mahasiswa lebih mengetahui serta
lebih memahami sejarah kesultanan serdang dan tokoh-tokoh yang terkait di
dalamnya.
D.
Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.
Metode Pustaka
Penulisan
mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang
dibahas.
2.
Metode Browsing
Penulis
memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari
serching di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kesultanan Serdang
Kesultanan
Serdang berdiri
tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta
kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di
pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang
ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan
Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain.
Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan
kekuasaannya pada aparat Republik.[1]
B.
Sejarah
Pendirian
kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar
Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah
daerah Suku
Karo yang sudah
sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang
sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi
berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja
Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan
taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk
pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang
anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Kemelut
di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap,
Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang
seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa
menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja
kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama
ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang
seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha
(permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih
di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari
agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung
Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di
wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh
(Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama
tahun 1723.
Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.[1]
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik
Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur
Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa
sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia
Belanda pada
tahun 1865.
Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak
melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi
sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada
aparat Republik.
Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki
tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku
Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena
Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk
menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah
Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah
beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian
bergabung dengan Kesultanan Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan
Panglima Paderap (Raja Deli terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin)
Gelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke
Serbajadi, sudah menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan
Sultan Serdang yang pertama.
Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.
Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.
Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah
ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya dengan menjadi kerajaan yang makmur
dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan
dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak
kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta
bantuan militer dari Kesultanan Serdang.
Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah
adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah
(1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat
legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap
Sembilan.
Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang
sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di
pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful
Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan.
Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak
peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan
Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari
penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang
terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan
dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16
Agustus 1862.
Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat
pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota,
Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan
Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa
(paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful
Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah
kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui
Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati
beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui
hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda
berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama
setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada
Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang
berdaulat.
Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur,
termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi
peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi
penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis.
Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat
karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penangkapan
terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di Simalungun di
mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana
mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas,
termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun
berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian
menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar.
Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk
para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.
Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah
II, di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat
adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap
kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman
kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara
Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan,
pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak
menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para
bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan
bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis.
Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi
Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara Kapten Tengku Nurdin
(Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para
tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan
bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang
dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut,
maka keesokan harinya, yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku
Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara
resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama
pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia
wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi
politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang mulai
berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya
merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia.
Sejak saat inilah Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan
berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.[2]
C. Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang
Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian
wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya
ikatan perkawinan.[3]
D.
Periode pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan.
Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan
Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah
beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri RajaPerbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan
Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak
menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak
perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya,
Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini
berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena
peperangan.
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal
Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu
mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam
peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan
digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di
Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu
Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan
gelar yang sama: Tengku Besar.
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik
Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah
1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya.
Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas,
memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika
ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja.
Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis
menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
Dikuasai Belanda dan bergabung
dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus
berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri
luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful
Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E.
Struktur pemerintahan
Raja pertama
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh
seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah
:
1.
Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2.
Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3.
Sebagai Kepala Adat Melayu.
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan
Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang
yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
1.
Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
2.
Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
3.
Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
4.
Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini,
disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah
dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.[4]
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat
Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan
kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya
4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak
makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat
Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang
(mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya
masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam
upacara perkawinan maupun perhelatan besar.
Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu
oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan).
Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam
dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum
Syara’ bersendikan Kitabullah”.
F.
Penguasa/Sultan
Penguasa
·
1728-1782 Tuanku Umar
Johan Pahlawan Alam Syah bin
Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
·
1782-1822 Tuanku
Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni
al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum Kacapuri], Raja Serdang.
·
1822-1851 Sultan
Thaf Sinar Basyar Syah ibni
al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar], Sultan dan
Yang di-Pertuan Besar Serdang
·
1851-1879 Sri
Sultan Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah
[Al-Marhum Kota Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·
1879-1946 Sri
Sultan Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din [Al-Marhum
Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
Kepala Rumah Tangga
·
1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman
Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
Sultan
·
1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah
al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala
Rumah Tangga Istana Serdang
·
2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni
al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga
Istana Serdang.
G.
Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik,
dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi
kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah
pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya
pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai
kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan
Thaf Sinar Basyar Syah.
Catatan utusan Kerajaan Inggris
Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram
dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:
Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat
ramai (terutama lada dan hasil hutan).
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan
Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan
mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai
barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual
dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan
negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari
Pedalaman.
Cukai di Serdang cukup moderat.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang
teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:
1.
secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan
itik, air yang dalam diperlihara ikan;
2.
genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai
kejayaan);
3.
cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi
kerja keras maka pembangunan terlaksana);
4.
hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja
pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan
sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf
Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan
penghormatan untuknya dengan gelar Marhom
Besar.[5]
H.
Koleksi Sejarah Yang Dimiliki
Dari
sejarah kejayaan Kesultanan Serdang, yang tersisa hanyalah masjid dan kompleks
makam raja-raja dan para pembesar kesultanan. Diantaranya :
1.
Makam Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah.
2.
Makam Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
3.
Masjid Sulaimaniyah
Masjid
Sulaimaniyah berada di Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai. Masjid Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan
Serdang di masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari
Istana Kesultanan Serdang, yaitu Istana Darul Arif. Namun, revolusi sosial yang
terjadi di kawasan Sumatra bagian timur telah menyebabkan Istana Darul Arif
hanya dapat ditemui dalam buku-buku sejarah atau foto-foto dokumentasi.
Posisi
Masjid Sulaimaniyah tepat berada dipinggir jalan utama yang menghubungkan Kota
Medan dan Tebing Tinggi. Sehingga siapapun yang melintas dari arah Medan menuju
Tebing Tinggi atau sebaliknya, pasti melewati masjid yang menjadi simbol
gambaran aktivitas keberagamaan masyarakat Kesultanan Serdang, dari sultan
hingga rakyatnya. Melihat nilai historis yang dimiliki Masjid Sulaimaniyah,
tidak heran jika banyak para wisatawan yang melintasi masjid ini berusaha
menyempatkan diri mengunjungi tempat ini.
Bangunan
Masjid Sulaimaniyah walaupun di sebelahnya telah dibangun sebuah menara yang
terlihat kokoh menjulang tinggi, secara fisik kelihatan biasa-biasa saja. Tidak
ada lengkung bangunan yang begitu tinggi seperti di Masjid Al Mahsun dan
kubah-kubah menjulang tinggi sebagaimana di Masjid Azizi. Jika menjadikan
bentuk atap Masjid Al Mahsun dan Masjid Azizi sebagai ciri khas sebuah masjid,
maka Masjid Sulaimaniyah sama sekali tidak kelihatan seperti masjid, karena
atap Masjid Sulaimaniyah berbentuk mahligai, sehingga lebih nampak seperti
kantor pemerintahan dengan pucuk rebung berwarna kuning sebagai ragam hiasnya,
dan warna hijau sebagai atapnya. Kepastian bahwa bangunan ini merupakan sebuah
masjid dapat dilihat dari sebuah tulisan Arab-Melayu berbunyi ”Masjid Sulaimaniyah”
yang terpahat di bagian atas depan masjid ini.
Di
bagian dinding masjid terdapat sebuah prasasti yang menjelaskan sejarah Masjid
Raya Sulaimaniyah. Dalam prasasti tersebut tertulis bahwa Masjid Raya
Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Serdang Syariful Alamsyah pada tahun 1894
seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke Istana
kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun secara
permanen. Dari catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa
Masjid Raya Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964,
1967, dan tahun 2004 (selesai tahun 2005).[6]
I.
Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan
sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya
dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi
terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan
data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap.
Kehidupan sosial budaya berikut inipun sebenarnya tidak lepas dari pusat
kekuasaan: sultan dan keluarganya.
Sejarah
telah lama mencatat bahwa, ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan
tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya
di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang
menjadi jantung kolonialisme dunia: Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut,
sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan
perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para
sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan
indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan
berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa.
Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli
yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini.
Berbeda
dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya,
dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika
komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional
tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi
berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi,
karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di
antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama
orang-orang Jawa dan Cina.
Dalam
sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal
ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah
di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut
telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda
tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari
kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah
diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli
J.
Peranan Sultan Pada Masa Kini
Karena
Serdang sebenarnya adalah pecahan dari Kesultanan Deli (itulah mengapa gelaran
sultannya memakai istilah Yang Dipertuan Besar Serdang) maka sesudah Indonesia
merdeka ia digabung kembali dengan induknya dan dibentuk Kebupatian
Deli-Serdang. Ibukotanya mula-mula di Medan lalu dipindah ke Lubuk Pakam.
Setelah
reformasi, Serdang berusaha mengajukan usulan agar dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah Kabupaten yang terpisah dari Deli. Tahun 2004, terbentuk
Kabupaten Serdang Bedagai dengan wilayah kira-kira sebagaimana wilayah
Kesultanan Serdang dahulu, tetapi ibukotanya bukan lagi di Perbaungan melainkan
dipindah ke Bandar Sungai Rempah.
Yang
menarik, meski Kepala Daerah (Bupati) kini dipilih secara demokrasi (bukun
karena turun-temurun) tetapi Bupati pertama Serdang Bedagai bernama Tengku Ery
Tengku Nurdin seorang anak turun Sultan Serdang.
Kebangkitan
Kesultanan Serdang saat ini, juga tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik
negara. Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku
budaya dan adat masyarakatnya. Sehingga, aktivitas kesultanan dibatasi hanya
sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan istiadatpun diarahkan
agar tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur
budaya yang berhubungan dengan kesultanan.
Akan
tetapi, pada tanggal 12 Juni 2002, diadakan pergantian kesultanan,dari
kesultanan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, menjadi Tuanku Luckman
Sinar Barshah. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku
Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar pada 12 Juni 2002
di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000
orang undangan dari kalangan pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman
Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga
sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.
Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:
1. Adat Sebenar Adat
Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:
1. Adat Sebenar Adat
Adat
ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api itu panas,
air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan, dan lainnya.
2 Adat yang Diadatkan
Adat
ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang
Besar Kerajaan.
3. Adat yang Teradat
Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang
kemudian diikuti secara terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat,
sehingga menjadi resam hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat
sanksi-sanksi adat jika hukum itu dilanggar.
4.
Adat-Istiadat
Adat ini berupa seremonial yang dirujuk
dari ketentuan yang belaku di istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa
berubah ketika terjadi pergantian raja.
K.
Silsilah Raja-Raja
Berikut
nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
1. Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar
Kejeruan Junjongan (1723−1767).
2. Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
3. Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
4. Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah
(1819−1880).
5. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
(1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang
dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah)
sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
6. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
7. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
Al-Haj (1997−2001).
8. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II
(2001−sekarang), dinobatkan pada 2002
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta
kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di
pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang
Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian
wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya
ikatan perkawinan Berikut nama-nama
sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
1. Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar
Kejeruan Junjongan (1723−1767).
2. Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
3. Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
4. Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah
(1819−1880).
5. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
(1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang
dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah)
sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
6. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar
(1946−1960).
7. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
Al-Haj (1997−2001).
8. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II
(2001−sekarang), dinobatkan pada 2002
DAFTAR PUSTAKA
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang
[2] http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang
[4] http://history.melayuonline.com
[5] http://history.melayuonline.com
[6] http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda