Kamis, 08 Mei 2014

kesultanan serdang


PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakaukaret, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik

B.     Tujuan Penulisan
Karya ini disusun bertujuan untuk mengulas kembali tentang kesultanan serdang  yang ada di Sumatra timur.  Juga untuk memberikan gambaran bagaimana keadaan kehidupan masyarakat Sumatra timur pada masa kesultanan serdang, bagaimana kehidupan social, budaya, maupun politiknya.

C.     Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dalam  makalah ini yaitu ( khususnya bagi mahasiswa ) agar  mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami sejarah kesultanan serdang dan tokoh-tokoh yang terkait di dalamnya.




D.    Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Metode Pustaka
Penulisan mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2.      Metode Browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari serching di internet.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kesultanan Serdang
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/2b/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Oude_woning_van_de_sultan_van_Serdang_Rantau_Pandjang_TMnr_60022954.jpg/300px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Oude_woning_van_de_sultan_van_Serdang_Rantau_Pandjang_TMnr_60022954.jpg
Kediaman Sultan Serdang di Rantau Panjang, Pantai Labu, Deli Serdang (1881-1882)
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakaukaret, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.[1]
B.     Sejarah
Pendirian kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karo yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Kemelut di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.[1]
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakaukaret, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan Panglima Paderap (Raja Deli terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, sudah menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama.

Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-
1850 M. 
Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang. 
Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan.
Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.
Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.

Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.
Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka keesokan harinya, yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.[2]



C.    Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.[3]
D.    Periode pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri RajaPerbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E.     Struktur pemerintahan
Raja pertama
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah :
1.      Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2.      Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3.      Sebagai Kepala Adat Melayu.
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
1.      Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
2.      Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
3.      Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
4.      Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.[4]
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.
Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
F.     Penguasa/Sultan
Penguasa
·         1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
·         1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum Kacapuri], Raja Serdang.
·         1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·         1851-1879 Sri Sultan Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah [Al-Marhum Kota Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·         1879-1946 Sri Sultan Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din [Al-Marhum Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
Kepala Rumah Tangga
·         1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
Sultan
·         1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
·         2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.

G.    Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Syah.
Catatan utusan Kerajaan Inggris
Di masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:
Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
Cukai di Serdang cukup moderat.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:
1.      secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
2.      genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
3.      cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
4.      hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.[5]
H.    Koleksi Sejarah Yang Dimiliki
Dari sejarah kejayaan Kesultanan Serdang, yang tersisa hanyalah masjid dan kompleks makam raja-raja dan para pembesar kesultanan. Diantaranya :
1. Makam Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah.
2. Makam Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
3. Masjid Sulaimaniyah
Masjid Sulaimaniyah berada di Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Masjid Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan Serdang di masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari Istana Kesultanan Serdang, yaitu Istana Darul Arif. Namun, revolusi sosial yang terjadi di kawasan Sumatra bagian timur telah menyebabkan Istana Darul Arif hanya dapat ditemui dalam buku-buku sejarah atau foto-foto dokumentasi. 
Posisi Masjid Sulaimaniyah tepat berada dipinggir jalan utama yang menghubungkan Kota Medan dan Tebing Tinggi. Sehingga siapapun yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, pasti melewati masjid yang menjadi simbol gambaran aktivitas keberagamaan masyarakat Kesultanan Serdang, dari sultan hingga rakyatnya. Melihat nilai historis yang dimiliki Masjid Sulaimaniyah, tidak heran jika banyak para wisatawan yang melintasi masjid ini berusaha menyempatkan diri mengunjungi tempat ini.
Bangunan Masjid Sulaimaniyah walaupun di sebelahnya telah dibangun sebuah menara yang terlihat kokoh menjulang tinggi, secara fisik kelihatan biasa-biasa saja. Tidak ada lengkung bangunan yang begitu tinggi seperti di Masjid Al Mahsun dan kubah-kubah menjulang tinggi sebagaimana di Masjid Azizi. Jika menjadikan bentuk atap Masjid Al Mahsun dan Masjid Azizi sebagai ciri khas sebuah masjid, maka Masjid Sulaimaniyah sama sekali tidak kelihatan seperti masjid, karena atap Masjid Sulaimaniyah berbentuk mahligai, sehingga lebih nampak seperti kantor pemerintahan dengan pucuk rebung berwarna kuning sebagai ragam hiasnya, dan warna hijau sebagai atapnya. Kepastian bahwa bangunan ini merupakan sebuah masjid dapat dilihat dari sebuah tulisan Arab-Melayu berbunyi ”Masjid Sulaimaniyah” yang terpahat di bagian atas depan masjid ini.
Di bagian dinding masjid terdapat sebuah prasasti yang menjelaskan sejarah Masjid Raya Sulaimaniyah. Dalam prasasti tersebut tertulis bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Serdang Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke Istana kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun secara permanen. Dari catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa Masjid Raya Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964, 1967, dan tahun 2004 (selesai tahun 2005).[6]
I.       Kehidupan Sosial-Budaya

Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Kehidupan sosial budaya berikut inipun sebenarnya tidak lepas dari pusat kekuasaan: sultan dan keluarganya.

Sejarah telah lama mencatat bahwa, ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia: Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini. 

Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.
Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli

J.      Peranan Sultan Pada Masa Kini

Karena Serdang sebenarnya adalah pecahan dari Kesultanan Deli (itulah mengapa gelaran sultannya memakai istilah Yang Dipertuan Besar Serdang) maka sesudah Indonesia merdeka ia digabung kembali dengan induknya dan dibentuk Kebupatian Deli-Serdang. Ibukotanya mula-mula di Medan lalu dipindah ke Lubuk Pakam. 
Setelah reformasi, Serdang berusaha mengajukan usulan agar dapat berdiri sendiri sebagai sebuah Kabupaten yang terpisah dari Deli. Tahun 2004, terbentuk Kabupaten Serdang Bedagai dengan wilayah kira-kira sebagaimana wilayah Kesultanan Serdang dahulu, tetapi ibukotanya bukan lagi di Perbaungan melainkan dipindah ke Bandar Sungai Rempah
Yang menarik, meski Kepala Daerah (Bupati) kini dipilih secara demokrasi (bukun karena turun-temurun) tetapi Bupati pertama Serdang Bedagai bernama Tengku Ery Tengku Nurdin seorang anak turun Sultan Serdang.
Kebangkitan Kesultanan Serdang saat ini, juga tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Sehingga, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan istiadatpun diarahkan agar tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan kesultanan.
Akan tetapi, pada tanggal 12 Juni 2002, diadakan pergantian kesultanan,dari kesultanan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, menjadi Tuanku Luckman Sinar Barshah. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar pada 12 Juni 2002 di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.

Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:

1. Adat Sebenar Adat
Adat ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api itu panas, air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan, dan lainnya.
2 Adat yang Diadatkan
Adat ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang Besar Kerajaan.
3.   Adat yang Teradat
Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang kemudian diikuti secara terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat, sehingga menjadi resam hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat sanksi-sanksi adat jika hukum itu dilanggar.
4.   Adat-Istiadat
Adat ini berupa seremonial yang dirujuk dari ketentuan yang belaku di istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa berubah ketika terjadi pergantian raja.

K.    Silsilah Raja-Raja
Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
1.      Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
2.      Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
3.      Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
4.      Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
5.      Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
6.       Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
7.      Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
8.      Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakaukaret, dan kelapa sawit.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
1.      Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
2.      Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
3.      Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
4.      Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
5.      Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
6.      Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
7.      Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
8.      Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002





DAFTAR PUSTAKA

http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang
[2] http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html
[3]  http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang

[4] http://history.melayuonline.com
[5] http://history.melayuonline.com
[6] http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/istana-darul-arif-serdang.html

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda