Sejarah Ponpes
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah
Pondok Pesantren ponpes madrasah Sumatera Thawalib
Parabek Bukit tinggi Sumbar Sumatera Barat yang didirikan oleh Syekh Ibrahim
Musa Parabek pada 1910. Syekh Ibrahim Musa Parabek lahir tanggal 12 Syawal 1301
H/1884 M di Desa Parabek . Banuhampu, Bukittinggi. Ayahnya bernama Syekh
Muhammad Musa bin Abdul Malik Al Qarhawy, seorang Ulama yang terkenal di
kampungnya Karatau, Parabek. Ibu Ibrahim bernama Ureh. Sejak kecil Ibrahim
telah belajar Qur'an di bawah bimbingan ayahnya. Pada usia 13 tahun ia sudah
Khatam Qur'an. Madrasah
Sumatera Thawalib berjalan dengan sistem Madrasah dalam pesantren mengejar
keseimbangan antara aspek pengajaran yang menekankan pada proses transformasi
ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan yang menekankan pada pembentukan kader
ulama. Kombinasi yang harmonis antara madrasah dan pesantren membawa harapan
besar untuk melahirkan ulama dan cendikiawan muslim di masa mendatang. Madrasah
Sumatera Thawalib ke depan akan tetap pada komitmen awal, yaitu mencetak
kader-kader ulama yang mantap dalam ibadah, intelektual dalam berfikir dan
terampil dalam masyarakat.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa Sejarah awal mula
berdirinya pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar?
2.
Apa visi dan misi
pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar?
3.
Siapa Pendiri dan
pengurus pesantren Thawalib Parabek sumbar ?
4.
Apakah
Tujuan, Sistem, Metoda dan Stategi Pendidikan yang diterapkan ?
5.
Apa saja kegiatan dan
Fasilitas belajar siswa Madrasah Thawalib ?
6.
Keunggulan apa saja
yang ada di Madrasah Thawalib sumbar ?
7.
Siapakah Tokoh Ulama di
sumatera barat ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
sejarah pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar.
2.
Agar mengetahui Visi
dan Misi pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar.
3.
Agar mengetahui pendiri
dan pengurus pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi.
4.
Agar mengetahui Tujuan,
sistem serta strategi pendidikan di madrasah Thawalib.
5.
Untuk mengetahui kegiatan
serta fasilitas belajar siswa.
6.
Agar mengetahui
keunggulan pesantren Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar.
7.
Untuk mengetahui dan
mengenal para ulama di sumbar.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang
terkandung dalam makalah ini yaitu ( khususnya bagi mahasiswa ) agar mahasiswa
lebih mengetahui serta lebih memahami sejarah berdirinya madrasah Thawalib
sumatera barat serta tokoh-tokoh ulama yang terkait di dalamnya.
1.5
Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode
Pustaka
Penulisan mencari sumber dari buku-buku yang
berhubungan atau berkaitan dengan topik yang dibahas.
2. Metode
Browsing
Penulis memperoleh data-data yang berhubungan
dengan pokok bahasan dengan mencari serching di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
Pesantren Sumatera
Thawalib Parabek Bukit tinggi Sumbar
A. Sejarah Awal Mula
Pondok Pesantren Sumatera Thawalib
Sejarah profil biodata pondok Pesantren ponpes madrasah
Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi Sumbar Sumatera Barat yang didirikan oleh
Syekh Ibrahim Musa Parabek pada 1910.
1910 Syekh Ibrahim Musa Parabek membuka pengajian
Halaqah sekembali dari menuntut ilmu di Makkah selama 9 tahun, 1916 Pengajian halaqah
diberi nama Muzakatul Ikhwan setelah kembalinya Syekh Ibrahim Musa kali yang
kedua dari Makkah selama 2 tahun, 1918 Muzakaratul Ikhwan (Jamiatul Ikhwan )
diubah menjadi Sumatera Thawalib, 1920 Belajar secara klasikal , 1929 Pengaruh
Politik Islam Nasional memasuki Sumatera Thawalib yang disalurkan lewat Permi (
Persatuan Muslim Indonesia ), 1932 Sumatera Thawalib menjadi wadah politik
PERMI, 1939 Syekh Ibrahim Musa bersama menantu beliau H.Butanil Abdul Ghani
yang baru pulang belajar dari Khairo Mesir membuka Thakausus yaitu lanjutan selama 3 tahun
setelah tamat 7 tahun , 1940 Kelancaran proses pendidikan di Sumatera Thawalib
agak terganggu akibat, antara lain, masuknya tentara DAI Nipon dan pengerahan
kedaulatan RI sampai agresi Belanda, 1949 Kepengurusan Sumatera Thawalib
dipercayakan kepada Abdul Muis St Batungkek Ameh (menantu Syekh Ibrahim Musa)
sedangkan Syekh Ibrahim Musa lebih banyak mengajar di kelas tertinggi (kelas IV
dan VII ), 1958 Pelajaran ditambah dengan vak-vak umum dan kelas di bagi atas:
4 tahun (sampai kelas IV) dengan nama Sumatera Thawalib, dan 3 tahun (dari
Kelas V – VII) dengan nama Kuliyatuddiyanah, 1963 Syekh Ibrahim Musa wafat.
Pengelolaan Sumatera Thawalib Parabek dilanjutkan dengan mendirikan Yayasan
Syekh Ibrahim Musa (YASIM) yang diketuai oleh H. Abdul Munir Dt.Palindih .
Saat ini, Madrasah Sumatera Thawalib berjalan
dengan sistem Madrasah dalam pesantren mengejar keseimbangan antara aspek
pengajaran yang menekankan pada proses transformasi ilmu pengetahuan dan aspek
pendidikan yang menekankan pada pembentukan kader ulama. Kombinasi yang
harmonis antara madrasah dan pesantren membawa harapan besar untuk melahirkan
ulama dan cendikiawan muslim di masa mendatang. Madrasah Sumatera Thawalib ke
depan akan tetap pada komitmen awal, yaitu mencetak kader-kader ulama yang
mantap dalam ibadah, intelektual dalam berfikir dan terampil dalam masyarakat.
B. Visi & Misi Pondok
Pesantren Sumatera Thawalib
Visi Madrasah
Menjadi Pusat
Pendidikan Islam Unggulan Yang Membangun Generasi Khairu Ummah
Misi Madrasah
1. Menyelenggarakan pendidikan
yang berkualitas
2. Menciptakan kader
ulama, umara’, aghniya’ intelektual
3. Melaksanakan dan
mengemban da’wah Islam
4. Menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, spritual, menuju kesejahteraan dan keselamatan dunia serta
akhirat
C. Tenaga
Pengajar & Pengurus Pesantren Sumatera
Thawalib
Pengurus Yayasan : Syekh Ibrahim Musa
Ketua : Ir. H. Novizar Zen
Sekretaris : Drs. Muslih Sayan
Bendahara : H. Erwan M. Nur
Bid. Pembangunan : Dasril St. Mangkudun
Bid. Pendidikan : Ir. Susi Zahrawati
Moeis, MT
Syekh Pesantren:
·
Syekh H. Abdul Gafar
·
Syekh ‘Athif Sulaiman
(Syekh Al-Azhar Mesir)
·
Syekh H. khatib Muzakir
Pimpinan Pesantren
Pimpinan pondok:
·
Buya Deswandi
·
Ust. H. Ilham, LC, M.A
·
Taufik Hidayat, S.Th.I
Pengurus Madrasah
·
Ust. Drs. Zulfahmi
(Kepala Aliyah)
·
Ust. Nurdin, S.Ag
(Kepala Tsanawiyah)
·
Ust Masrur Syahar, BA. (Kepala Bag. Umum)
·
Ust. Taufiq Suar, B.A
(Kepala Asrama)
·
Ustzh. Erna Desi
(Bendahara)
·
Ust. Jendrizal, S.Ag
(Wk. Bid. Kurikulum Aliyah)
·
Ustzh. Nofitri, S.Ag,
M.Pd (Wk. Bid. Kurikulum Tsanawiyah)
·
Ust. Mukhlis, S.Sos.I
(Wk. Bid. TU Aliyah)
·
Ustzh Zahra, A.Ma.E
(Wk. Bid. TU Tsanawiyah)
·
Ust. Ujang, S.Th.I (Wk.
Bid. Kesiswaan Aliyah)
·
Ust. H. Zaki Munawwar,
Lc (Wk Bid. Kesiswaan Tsanawiyah)
D. Profil Syekh Ibrahim
Musa Pendiri Parabek
Syekh Ibrahim Musa Parabek lahir tanggal 12 Syawal
1301 H/1884 M di Desa Parabek . Banuhampu, Bukittinggi. Ayahnya bernama Syekh
Muhammad Musa bin Abdul Malik Al Qarhawy, seorang Ulama yang terkenal di
kampungnya Karatau, Parabek. Ibu Ibrahim bernama Ureh. Sejak kecil Ibrahim
telah belajar Qur'an di bawah bimbingan ayahnya. Pada usia 13 tahun ia sudah
Khatam Qur'an. Pada usia yang masih muda itu juga beliau dilepas orang tuanya
pergi mengaji ke Surau Tuanku Mato Aia Pakandangan Pariaman. Di sana beliau mempelajari
Ilmu Nahwu dan Sharaf. Selanjutnya pindah ke Batu Taba di surau Tuanku Mato
Angin, beliau belajar Fiqih . Kemudian ke Ladang Laweh mengaji dengan Tuanku
Abdul Samad di surau Biaro Ampek Angkek. Juga beliau belajar dengan Syekh
Jalaluddin Alkasai di Sungai Landai Banuhampu. Terakhir beliau belajar dengan
Tuanku Abdul Hamid di Suliki Paya Kumbuh. Dalam usia 19 tahun beliau berangkat
ke Mekah untuk mendalami Ilmu agama bersama kakaknya Abdul Malik tepatnya di
bulan Rajab th 1320 H/ 1901 M. Di Mekah beliau mengaji pada syekh Ahmad Khatib
Al Minang Kabawy (1815 - 1915), yang menjadi imam masjidil haram dari mazhab
Syafei. Beliau juga dibimbing oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ali Bin
Husein, Syekh Mukhtar Al-Jawi dan Syekh Yusuf Al Hayat. Sekembalinya beliau
dari Mekah yang pertama tahun 1910 M beliau mengadakan pengajian secara halaqah
di Parabek. Anak muda pun berdatangan ke Parabek ingin menuntut Ilmu kepada
beliau, baik dari daerah - daerah di Minangkabau.
E. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pesantren Thawalib Sumbar
“Pendidikan Sumatera Thawalib mendasarkan
program pendidikannya pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi adalah menciptakan
insan-insan yang bertaqwa kepada Allah swt sembari meningkatkan keterampilan
dan ilmu pengetahuan dan mempertinggi akhlak sehingga terbentuk manusia Muslim
seutuhnya. Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri pada bidang agama
Islam, Sumatera Thawalib bertujuan agar lulusannya dapat menjadi kader ulama,
cendikiawan muslim, mubaligh dan guru agama Islam yang memiliki kemampuan dasar
sebagai berikut :
·
Menguasai ilmu alat,
khususnya Bahasa Arab ( termasuk nahwu, Sharaf, Mantiq dan Balaghah).
·
Menguasai Fiqh dan
Ushul Fiqh, Tafsir dan Hadits
·
Memiliki aqidah yang
benar dan kuat
·
Istiqamah dalam
nilai-nilai Islam.
·
Berakhlaq yang islami
·
Terampil dan punya
sikap mandiri.
·
Mampu mengajarkan agama
Islam dengan dasar-dasar yang sudah dimiliki.”
F. Sistem, Metoda dan Stategi Pendidikan Pesantren Thawalib Sumbar
Hasil pembaharuan yang
dicanangkan sejak beberapa tahun yang lalu, sistem, metoda dan strategi
pendidikan disesuaikan dengan filosofi dasar yang telah diletakkan, yaitu
pertama-tama kembali kepada “semangat” Inyiak Parabek, dan kedua
mengkombinasikan sistem Madrasah dan sistem Surau atau Pesantren dalam satu
paduan yang harmonis.
Dengan kembali kepada semangat Inyiak Parabek
berarti bahwa sistem pendidikannya tetap dilandaskan kepada upaya “Tafaqqahu
fiddin” yaitu bersungguh-sungguh dan berdalam-dalam ilmu agama dan dalam
penghayatan beragama. Sekolah yang dituju, oleh karena itu, bukanlah sembarang
sekolah, tetapi ” sekolah agama” par excelence, yang tujuannya adalah untuk
mempersiapkan anak didik untuk menjadi ulama dan ahli agama di masa depan.
Kedua sistem
pendidikannya tidaklah hanya sekedar memberikan pelajaran agama tetapi
sekaligus mengamalkannya. Dengan kata lain, yang dicari adalah “keseimbangan”
yang harmonis antara aspek pengajaran dan pendidikan. Kegiatan intrakulikuler
dibuat sinergis dengan kegiatan yang bersifat ekstra-kurikuler. Tekanan kegiatan intra-kurikuler adalah pada program
tatap muka antara guru dan murid di depan kelas melalui kurikulum dan silabus
yang disusun secara sistematik dan bertingkat menurut jenjang pendidikan cara
berkelas (kelas 1-6).
Sementara tekanan kegiatan ekstra-kurikuler
adalah pada penghayatan terhadap pelajaran yang diterima di dalam kelas
melalui: Latihan Ibadah, yakni dengan membiasakan shalat berjamaah diawal
waktu, membiasakan memperbanyak shalat-shalat sunnat, membiasakan I’tikaf di
mesjid dengan mengahfal ayat-ayat dan mewiridkan dzikir dan shalat tahajjud,
dsb; Latihan Mu’amalah, memasukkan diri ke dalam masyarakat dan belajar
melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan yang berkaitan dengan agama, seperti
memandikan mayat, menggali kuburan, belajar memberikan pengajian agama,
membimbing ibu-ibu dan anak-anak dalam mengaji Al Qur’an, ikut dalam
tugas-tugas sosial-kemasyarakatan lainnya, dsb; Latihan Keterampilan, baik keterampilamn dalam
berpidato, bermudzakkarah, bermuhadharah, maupun berolah raga, kepanduan
kesenian dsb); serta Latihan
Berorganisasi yang disalurkan melalui wadah OSIS dengan nama IPST (Ikatan
Pelajar Sumatera Thawalib).
Sesuai dengan pedoman pengajaran dari
Departemen Agama terhadap sekolah-sekolah agama (Islam), maka jenjang
pendidikan di Sumatera Thawalib di bagi kedalam dua tingkat, Tingkat Tsanawiyah
dan Tingkat Aliyah, yang masing-masing berjalan selama tiga tahun. Yang
diterima masuk Tsanawiyah adalah lulusan SD dengan syarat bisa membaca Al
Qur’an dan berminat untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan berkecimpung dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Untuk masuk ke tingkat Aliyah juga bisa
diterima lulusan Tsanawiyah dari madrasah-madrasah lain, dengan ketentuan bahwa
pengetahuan agamanya adalah setingkat dangan Tsanawiyah kelas Tiga dari Parabek
sendiri. Dengan adanya dua jenjang pendidikan ini maka ada kemungkinan pada
tingkat Aliyah menerima input dari Madrasah lain dan ada juga kemungkinan
tamatan kelas tiga Madrasah Sumatera Thawalib transit ke sekolah lain.
Kurikulum
Intra Kurikuler
Kurikulum yang
dijalankan saat ini adalah perpaduan kurikulum identitas (khas MST) dengan
kurikulum yang ada di Departemen Agama. Kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga berdaya guna dan mudah dicerna. Pada tahun pertama (Kelas I)
ditekankan penguasaan Bahasa Arab dan pembinaan Ibadah, Bahasa Arab diajarkan
12 jam dalam seminggu, dengan arti kata belajar 2 jam pelajaran setiap hari dengan
demikian pada kelas II seluruh pelajaran Agama diajarkan dengan bahasa pengatar
Bahasa Arab karena Bahasa Arab sudah menjadi bahasa keseharian bagi para siswa.
Sedangkan Bahasa Inggris di programkan di kelas II dengan porsi yang sama
dengan Bahasa Arab di kelas I sehingga pada kelas III para siswa telah dapat menguasai
bahasa Arab dan Inggris sekaligus
Bahasa
Pembinaan
bahasa Arab dan Inggris dilakukan dengan : Daily Arabic and English. Bahasa
Harian yang diterapkan di madrasah dan asrama adalah Bahasa Arab dan Inggris. Intensif
Kebahasaan. Intensif kebahasaan kursus-kursus tambahan. Pertama, Arabiah
Mukatsafah. Kedua, Kursus Bahasa Inggris dilaksanakan dalam format ; Pertama,
Intensive English Training (IET). Kedua, English conversation club (ECC). ECC
berorientasi pada kemampuan percakapan.
Takhasus
Takhasus
adalah kegiatan belajar tambahan (di luar jam belajar) untuk memperdalam
penguasaan mata pelajaran pokok (penting). Pelajaran yang ditakhasuskan adalah
Ushul Fiqh, Nahwu Sharaf, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis dan Ilmu Hadis.
G. Kegiatan Siswa Pesantren Thawalib Sumbar
Siswa
merupakan komponen madrasah yang memegang peran menentukan dalam proses
pendidikan. Siswa adalah produk pendidikan, jadi kualitas sebuah madrasah dapat
dilihat dari sejauhmana kualitas siswanya.
Kegiatan
Madrasah :
1. Shalat
Zhuhur, shalat Dhuha, Shalat Tasbih
2. Kultum
dan Mudzakarah
3. Pelatihan
dan Keterampilan. Antara lain; pelatihan dasar elektronika, kerajinan tangan
yang meliputi jurnalistik, kaligrafi, ukir, bordir, jahit-menjahit,
masak-memasak (boga), pembuatan tas, sol (menjahit sepatu) dan lain-lain.
4. Pelatihan
Komputer. Kursus komputer dilaksanakan oleh sekolah secara gratis untuk semua
dengan jadwal dan durasi yang ditentukan sedemikian hingga semua siswa dapat
menyelesaikan materi sesuai jadwal
5. Pelatihan
Imam dan Khatib.
6. Studium
General. Dilaksanakan 2 kali setiap semester dengan mendatangkan para pakar
dari perguruan tinggi dan native speaker Arabiah maupun inggris.
7. Beladiri.
Olah Raga. Basket, Volley, Futsal, badminton, dll.
8. Pengabdian
Masyarakat (Khidmatul Ummah).
9. Muhasabah
10. Mufradat Shabahiyah (Belajar Berkomunikasi
Bahasa Arab siap Suhuh)
11. POSKESTREN
H. Fasilitas Belajar Pesantren Thawalib Sumbar
1) Ruang
kelas yang representatif
2) Laboratorium
Komputer
3) Laboratorium
Bahasa
4) Laboratprium
IPA
5) Perpustakaan
Digital
6) Labor
Multimedia
7) Ruang
Internet
8) Lapangan
Olah Raga yang Representatif
I.
Kesejahteraan
Pesantren Thawalib Sumbar
Untuk
memenuhi kebutuhan belajar, harian, komunikasi serta kesehatan siswa, madrasah telah
melengkapinya dengan koperasi siswa, wartel serta klinik kesehatan yang
didukung oleh seorang perawat dan mobil ambulance.
J. Keunggulan di Pesantren Thawalib
Target
Terhadap Siswa
·
Menguasai ilmu alat, Nahwu, sharaf, mantiq, dan
Balaghah.
·
Memiliki aqidah yang benar dan kuat
·
Istiqamah dalam nilai-nilai Islam
·
Mendalami agama dari pengetahuan sampai
amaliyah
·
Berakhlaq yang Islami
·
Terampil dan punya sikap mandiri
·
Mampu mengajarkan agama Islam dengan
dasar-dasar yang sudah dimiliki
·
Berbahasa Arab dan Inggris aktif
Prestasi
·
Setiap tahun siswa diterima di Al-Azhar
University
·
2 orang siswa dan 1 guru mengikuti pelatihan di
Amerika Serikat dalam program Indonesian Youth Leadership Program (IYLP)
·
1 orang guru mengikuti pelatihan Intensive and
Training on Sustainable Farming Techniques and Management se-Asean di Bandung
·
Pertukaran 7 pelajar dengan Ma’had Al-Ummah
Perak dan Darul Hikmah College Malaysia
·
Juara kitab kuning antar pesantren se-Sumatera
Barat
·
Juara Kaligrafi dalam PORSENI antar pesantren
se-Sumatera Barat
·
Juara Pidato Bahasa Arab dalam PORSENI antara
pesantren se-Sumatera Barat
·
Juara Pidato Bahasa Indonesia dalam PORSENI antara
pesantren se-Sumatera Barat
·
Finalis Lomba kitab kuning tingkat nasional di
Bandung
·
Mengadakan Pelatihan Metode Cepat Belajar Nahwu
Sharaf se-Sumatera Barat, Riau dan Palembang
·
Pelatihan santri sahabat Polisi untuk siswa
kelas I
·
Lulus 100 % Ujian Nasional
·
Madrasah berprestasi dalam pelaksanaan SBM
tingkat nasional dengan predikat SANGAT BAIK
·
1 orang siswa diutus ke Amerika Serikat tahun
2006 dalam program Linc
·
2 orang juara MQK tk. Nasional tahun 2008
Banjarmasin
·
Penghargaan Kanwil Diknas sumbar terhadap 6 orang
nilai tertinggi UN 2007/2008
·
Juara I debat Bahasa Arab se-Sumatera Barat di
STAIN Bukittinggi
·
Juara I Lomba Hifzhul Qur’an 10 juz se-Sumatera
Barat
·
9 orang siswa mendapat beasiswa penuh S 1 DEPAG
RI di Perguruan Tinggi favorit
Beasiswa
Madrasah
menyediakan beasiswa antara lain :
·
Beasiswa siswa berprestasi
·
Beasiswa Penghafal Al-Qur’an
·
Dan beasiswa lainnya
Jurusan
Aliyah
·
Kegamaan (Bagi siswa yang mendalami agama dan
ingin melanjutkan pendidikan di Timur Tengah)
·
IPA (Bagi siswa yang ingin menjadi intelektual
muslim, menguasai teknologi tanpa meninggalkan pengetahuan agama).
Extra Kurikuler
Disamping mengikuti
kegiatan belajar formal dipagi hari para siswa disibukkan dengan kegiatan extra
pada sore hari, paket-paket tambahan belajar dan pembinaan keterampilan
disediakan sesuai dengan bakat dan kemauan siswa. Paket tambahan tersebut
terdiri dari :
Paket yang mesti diikuti
siswa :
·
Muhadharah untuk
tingkat Tsanawiyah
·
Muzakarah untuk tingkat
Aliyah
·
Tutorial pendalaman
kitab (Ushul Fiqh, Ilmu hadits, Qawaid, dll) untuk tingkat Aliyah
·
Komputer
·
Khidmatul Ummah
(Pengabdian pada masyarakat)
Paket pilihan siswa
berbakat
·
Bahasa Inggris Intensif
·
Bahasa Arab Intensif
·
Hafizh Al-quran
·
Elektronika
·
Jahit Menjahit
·
Bordir
·
Keputrian (
Masak-memasak, merangkai bunga dll)
·
Pencak silat
·
Poskestren, dll.
K. Tokoh
Ulama Minangkabau Sumatera Barat
Syekh
Burhanuddin, Ulakan (1646-1704)
Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan,
baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu
sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya
pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab
Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku
Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini
menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman
Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab
Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat
Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam.
Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar
Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal
Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada
Syekh Abdurrauf al Singkli. Syekh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid
Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syekh Kuala.
Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke
Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar
melalui jalur perdagangan di Minang-kabau terus ke Kapeh-kapeh dan
Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah
barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama.
Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru
yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari
seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syekh
Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan
penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah
mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama
Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang
ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa
Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran,
tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau
di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ). Dalam catatan lain
terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan
Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang
diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik
agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang
kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak Penulis
bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi
Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud
Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syekh
Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan. Semua
para penulis tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan
pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan
Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang
mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di
Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau
lainnya di Ulakan.
Syekh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H atau
1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang
dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan
diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar besar-besaran. Menurut perhitungan
Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk,
Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan
meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun. Ilmu pengetahuan agama yang
dalam serta pengalaman kenegaraan yang diperdapat bersama gurunya, Syek Abdur
Rauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem
pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh
pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang
melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau. Bahkan Syekh Burhanuddin
mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan
bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam
masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam
masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih
dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Peninggalan Syekh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik,
seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi
monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen
itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah
Syekh Burhanuddin.
Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara
dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan
yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan
pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan
terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung
atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan
pertumbuhan.
Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas:
a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh Kambar
b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis
c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia
d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis
Peninggalan
Syekh Burhanuddin
Pada batu nisan Syekh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10
Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur
yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika
berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun,
kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun. Di kiri kanan makam Syekh
Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalipah bernama Abdur
Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini
terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh
sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada
loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan
baru tirai itupun diganti.
Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi
khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalipah ke-16, Tuanku Mudo.
Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya,
khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai
pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu
alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan
besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam
dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya
mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Dekat makam terdapat
pula sebuah bangunan yang berguna celengan bagi orang yang berwakaf.
Makam Syekh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai
oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa variasi
yang penting sebagai monumen sejarah Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa
Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari
jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah
yang datar dengan halaman yang luas. Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin
adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada
Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau,
semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam.
Syekh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin terdiri
dari dua bangunan, yaitu:
·
Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang
dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance
hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen
dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang. Bangunan berdenah segi
empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan
ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di
antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang
Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung).
Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama
dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan
pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang
(soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka
struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada
deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu
yang disambung dengan rotan yang disimpai.
·
Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya
di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima
Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap
tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak
yang dibangun dalam abad ke-16.
·
Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid
·
di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17.
Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak.
·
Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi
atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan
atap seng pada tahun 1920. Struktur
bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang
sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan
lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu.
Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk
segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa
paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.
·
Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak
di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang
sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau
Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.
Masa Kecil Syekh Burhanuddin Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil
dan latar belakang kehidupan Syekh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama
kecilnya adalah Pono. Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M).
Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama
Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi. Keluarga
Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan
Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit
Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang
Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang
diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama
dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono
dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak
yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di
nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru,
seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto,
berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus.
Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama. Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama. Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering
bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono
karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya
telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu
menjadi gagal. Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau
sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri
dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari.
Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati
mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan
almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman
dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai
meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk. Dakwah Pono demikian tidak
berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama
para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan
berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan
kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan
semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan
ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari
untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono tidak
mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar
dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu
agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini
disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya. Secara
diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna
memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah. Dengan berat hati kedua orang tuanya
melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata
terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah
pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan
Islam di Minangkabau.
Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin
nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri
kepada Allah.Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syekh Abdur
Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum
gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah
jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara
kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan
dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama,
hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka
adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh,
Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah
didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya
dengan penuh rasa tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam
perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap
dan memperkenalkan diri kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak
dari kampung halaman disampaikan dengan sopan. Dengan segala senang hati Syekh
Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syekh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia
dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama
lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel. Syekh Abdurauf
Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak
legenda mengenai Syekh Abduurauf yang terus hidupdan dikenal turun temurun.
Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syekh Abdurauf
Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama
Tengku Dikuala. Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan
intelektual yang jenius pada zamannya. Sesudah mendapat pendidikan di kampung
halamannya dan diibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab.
Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab,
di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa
tempat lainnya. Syekh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama
Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun
1661, ia kembali ke Aceh. Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang
(pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang
datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat
Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya.
Di antara muridnya yang terkenal ialah Syekh Burhanuddin di Ulakan seorang
mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif
ke pedalaman Minangkabau.
Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syekh Abdurauf terus menerus
memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum
berjudul, ” Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan
mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu. Pendapat Syekh
Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah
pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat
dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam
sangat dikagumi sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh
masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam
Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih
menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri
yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi
soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang
mu’amalah. Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada
masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama
34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka
karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara
pertentangan faham agama tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan
Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al
Sumatrani dalam ajaran Syattariah tentang Wihdatul wujud.
Bentuk dan sifat pertentangan antara Syekh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua aliran
dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani bernama
wihdatulwujud atau kesatuan ujud. Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam
yang menyatakan bahwa alam yang baru iniadalah sebagai kesaksian dari pada
adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai
tanda adanya Tuhan. Pertentangan ini telah ada pada masa Iskandar Muda, namun
atas kebijaksanaan Iskandar Muda tidak menimbulkan kekacauan. Namun dalam bidang
kebudayaan, sinar kerajaan Aceh semakin bersinar. Aceh masyhur sebagai pusat
kebudayaan dan intektual Islam di Asia Tenggara. Syekh Abdurauf adalah seorang
ulama dan mubaligh yang membenarkan seorang wanita menjadi Sulthanah yang
menunjukkan pikirannya yang maju untuk masanya. Bahkan sampai sekarang masih
ada ulama yang tidak membenarkan wanita menjadi pemimpin bangsa.
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 114 H atau 1698 M, Syekh Abdurauf
berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syekh
Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala.
Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syiah Kuala. Ia
mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di
sana pula ia dikuburkan. Syekh Abdur Rauf berhasil menyelesaikan studinya
dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang
(pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat.
Kemampuan Syekh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana
dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan
masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia diangkat
menjadi mufti kerajaan Aceh. Syekh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran
Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham
yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar
Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan
Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga
kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama
dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul ujud,”alam
ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak
ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang
besar. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, duania adalah hanya emanasi atau
pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Wihdatusyuhud ialah paham yang
rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai kesaksian dari
pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan
sebagai tanda dari pada adanya Tuhan.
Karya-karya
yang pernah beliau tulis, antara lain:
1. Hudayah
Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani hukum Islam
tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman
dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini.
2. Miratul
Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai
pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3. Kifayat al
Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok
ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
4. Syair
makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5. Tafsir al
Qur an, dalam bahasa Melayu.
Syekh Abdurrauf wafat tahun 1114 Hijriyah dimakamkan dekat muara sungai
Aceh. Pada makam beliau dibuat orang hiasan tulisan yang berbunyi Al Waliyul
mulki Syekh Abdur Rauf bin Ali, menunjukkan betapa besar peranannya dalam
kerajaan Aceh pada waktu itu Setelah meninggal dunia beliau lebih dikenal
dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syekh Kuala. Kepada ulama dan mubaligh
inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun.
Lebih-lebih ketika Syekh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin
sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam
hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh. Syekh Abdur Rauf memberikan
perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan guru terlihat
sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya.
Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini.
Murid-murid di rangkang Syekh Abdur Rauf harus berusaha sendiri dan mempunyai
ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup. Pono diajak tinggal serumah dengan
guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah
dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syekh Abdur Rauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap
yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara
pelajar di sana. Karena itulah Syekh Abdur Rauf mencurahkan sekalian ilmu yang
pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono.
Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya
tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab). Setelah
melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua
hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono
berhasil lulus dengan baik. Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau. Setelah
cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah masanya Syekh
Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan
antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang.Terjadi percakapan antara Syekh
Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut:
“Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada
taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh
masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di
akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu
bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia
menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” “Syukur Alhamdulillah”, kata
Syekh Burhanuddin. “Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah
subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau.
Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat
orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.
Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus
kusampaikan kepadamu. Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah
nama pemberian guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah.
Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu
kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang
penuh di dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin. Syekh Abdur Rauf melepas Syekh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin. Syekh Abdur Rauf melepas Syekh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan
Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu persatu
ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah terjadi
beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di
antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang
Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso. Perahu Syekh Burhanuddin
mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau
keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai
Ulakan. Perahu Syekh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di
sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu
kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syekh Burhanuddin
berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syekh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada
teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh
dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin
adalah perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima
surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut
kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa
orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini
berjabat tangan setelah sekian lama berpisah. Sesaat kemudian mereka berangkat
ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda
kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting
pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila
ajal sampai kelak ia dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan
Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari
Raja Ulakan. Ke sanalah Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci
mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan
keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat. Walaupun
mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya
yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar
masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama Islam yang taat. Syekh Burhanuddin
meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama. Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf. Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama. Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf. Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak
yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syekh Burhanuddin
agar anak-anak bermain di halaman surau. Syekh Burhanuddin ikut pula bermain
bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syekh
Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan
bacaan doa-doa lain. Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin
mengetahui isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak
mengaji, akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah
surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji
bagi anak-anak dan santri. Kesepakatan Bukit Marapalam Berita kegiatan Syekh
Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan,
Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang
dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri. Alam
Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai
pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok
Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung.
Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan
mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh,
Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai
Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja
Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan
Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang
lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam
ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh
Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.” Berangkatlah
Syekh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang
Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat
Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai
Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk
membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut., minta izin
menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau. Tempat sidang diadakan di sebuah
bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum
dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak,
sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di
Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan
sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu
aksi politik agama. Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan
ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan
yang diterima dengan suara bulat. Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan
kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam
pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan
tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh
Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syekh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu
yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya
di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”,
(adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) teralir
dalam pikiran muridnya Syekh Burhanuddin di Ulakan. Daerah pesisir sebagai bagian
dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang
Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan
memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan
tahun 1662. Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang
mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari
Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau. Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau. Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau. Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau. Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah
menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari
mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh
sesak dengan murid-murid beliau. Untuk menampung mereka dibangun lagi
surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau
baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren
yang kita kenal sekarang. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi
suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling
menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Syekh Burhanuddin telah
meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan
tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak
lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan
melalui latihan dan pendidikan. Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh
Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman
dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak. Menurut
penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya,
baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul
Rahman sebagai khalipah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syekh Burhanuddin
sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam. Sebagai
kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung
Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Tharekat Ulakan Ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin sebagai penganut
mazhab Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan
atau “martabat yang tujuh”. Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap
pancaran dari “ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi.
Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul
wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah
Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al
Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan. Sedangkan
Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w.
karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu,
faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya),
yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu
sifat dengan zat. Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri
khusus, antara lain:
·
tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan
bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
·
Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti
dapat dilihat dengan mata adanya bulan.
Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke makam
Syekh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut, pengikutnya
melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat, pendekatan dan
penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran manusia dalam ajaran
tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan amalannya melalui makrifat (ilmu) dan
hakikat (kebenaran sejati = Tuhan). Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau
khalipah. Tanpa guru, makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi
guru di sini adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama
dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya doa guru
perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan
kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk
ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tharikat dianggap
mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga dianggap keramat. Tanah dan
tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan
dikunjungi.
Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan. Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing.
Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan. Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing.
Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,
politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan tali
Tigo Sapilin. Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan
“kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri (1784 –
1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada masanya. Semuanya
hasil pendidikan surau Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendiri Pondok
Pesantren ponpes madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi Sumbar Sumatera
Barat adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1910. Pendidikan Sumatera Thawalib mendasarkan
program pendidikannya pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi adalah menciptakan insan-insan
yang bertaqwa kepada Allah swt sembari meningkatkan keterampilan dan ilmu
pengetahuan dan mempertinggi akhlak sehingga terbentuk manusia Muslim
seutuhnya. Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri pada bidang agama
Islam, Sumatera Thawalib bertujuan agar lulusannya dapat menjadi kader ulama,
cendikiawan muslim, mubaligh dan guru agama Islam. Dan bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang Tokoh Ulama dan
pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan
Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang
mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di
Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau
lainnya di Ulakan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.alkhoirot.net/2011/10/pesantren-sumatera-thawalib-parabek.html#2
http://urangminang.wordpress.com/2008/12/02/syekh-burhanuddin-ulakan-1646-1704/
1 Komentar:
Ponpes ini tergolong Eco Pesantrern tidak...kok tidak program kegiatan untuk lingkungan hidup...
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda