Kesultanan Mataram islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan islam terbersar yang
ada ditanah air khususnya di pulau jawa. Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam
terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu bertahan melewati masa-masa
berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, walaupun dalam wujud yang
berbeda dengan terbaginya kerajaan ini menjadi empat pemerintahan swa-praja,
yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman.
Sebelumnya memang ada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Tengah) yang lain yang
mendahului, seperti Demak dan Pajang. Namun sejak runtuhnya dua kerajaan itu,
Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap eksis dan memiliki banyak kisah dan
mitos yang selalu menyertai perkembangannya. Paling tidak Mataram berkembang
dengan diringi oleh mitos perebutan kekuasaan yang panjang. Karena itu
informasi tentang kerajaan mataram islam tidak begitu sulit kita dapat karena
himgga saat ini kerajaan tersebut masih eksis di tanah Jawa walaupun dengan
konteks yang berbeda.
1.2 Tujuan Penulisan
Karya ini disusun bertujuan untuk mengulas kembali tentang kerajaan Mataram
Islam yang ada di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Juga untuk memberikan
gambaran bagaimana keadaan kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masa kerajaan
Mataram Islam, bagaimana kehidupan social, budaya, maupun politiknya.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat atau nilai yang terkandung dalam makalah ini yaitu ( khususnya bagi
mahasiswa ) agar mahasiswa lebih mengetahui serta lebih memahami sejarah kesultanan
mataram islam dan tokoh-tokoh yang terkait di dalamnya.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode sebagai
berikut :
1.
Metode
Pustaka
Penulisan
mencari sumber dari buku-buku yang berhubungan atau berkaitan dengan topik yang
dibahas.
2.
Metode
Browsing
Penulis
memperoleh data-data yang berhubungan dengan pokok bahasan dengan mencari
serching di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN MATARAM ISLAM
A. BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di
sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Awal berdirinya yaitu
setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan
di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang
berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga
kerajaan Demak yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah
sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat
membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara
tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan
dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Pemanahan, dan
anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun karena Sutawijaya adalah anak
angkat Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila Ki Pemanahan memberitahukannya
kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru Martani mengusulkan agar Ki
Pemanahan dan Ki Penjawi memberitahukan kepada Sultan bahwa merekalah yang
membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok
dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur,
bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai
atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya,
Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar.
Sutawijaya kemudian berhasil memberontak kepada Pajang. Setelah Sultan
Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai
rajaMataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan
salah satu wilayah bagian dari Mataramyang beribukota di Kotagede.
Senopati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh
dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan
Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut.
Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji
sebagai pembangun Mataram.
B. LETAK
KERAJAAN MATARAM ISLAM
Gambar : Wilayah
Mataram Islam
Kerajaan
Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini
terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Dalam sejarah
Islam, Kerajaan
Mataram Islammemiliki peran yang
cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal
ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan
mengIslamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama,
hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram Islamsesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada
Babad Tanah Jawi. Kisahnya
Ki Gede Pamanahan mendirikan desa kecil di Alas Mentaok (alas= hutan) yang
kemudian menjadi sebuah kota yang semakin ramai dan makmur hingga disebut Kota
Gede (kota besar). Disana lalu di bangun benteng dalam (cepuri)
yangmengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah
kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga di lengkapi dengan parit
pertahanan yang lebar seperti sungai.
Wilayah kekuasaan Mataram mencapai Jawa Barat (kecuali Banten), Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sukadana (Kalimantan Selatan), Nusa Tenggara.
Palembang dan Jambi pun menyatakan vasal kepada Mataram.
C. SISTEM PEMERINTAHAN MATARAM ISLAM
Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya
yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah
selama 12 tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau
membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya
berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu.
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami
masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan
Agung juga menaklukkan daerah pesisir supaya kelak tidak membahayakan kedudukan
Mataram. Beliau juga merupakan penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC
yang pada saat itu sudah menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang
kebudayaan adalah Grebeg Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada
tahun 1645

Sultan Agung
Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak
mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676
diwarnai dengan banyak pembunuhan dan kekejaman. Pada masa pemerintahannya
ibukotakerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah
Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra
mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota
yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan
VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I
jatuh sakit dan akhirnya wafat. Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar
Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II
bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan
tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan
bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang
berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang danMataram harus
mengganti kerugian akibat perang.
Setelah Sunan Amangkuat II meninggal meninggal pada tahun 1703, Ia
digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Mas (Sunan Amangkurat III). Dia juga
sangat menentang VOC. Karena pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas
pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC mengangkat Paku Buwono I
(Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (perang perebutan mahkota I) antara
Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt III menyerah dan dibuang ke
Sailan oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan diganti oleh Amangkurat
IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para
bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini VOC kembali turut andil di dalamnya.
Sehingga kembali pecah perang Perebutan Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau
Sunan Amangkurat IV meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II
(1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap
VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC
di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura
berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa
ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya
pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur
kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga.
Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah
porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Setelah itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku
Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum pemerontak dengan janji akan
memberikan tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil
tetapi Paku Buwono II mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai
dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan pemberontakan bersama-sama hingga
pecah Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan merea berdua dan akhirnya
jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749. Setelah kematian Paku Buwana II VOC
mengangkat Paku Buwana III. Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan
pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya,
Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara
Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin.
VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah
Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut
sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut
adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada
Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan
mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku
Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta
dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja
Sri Susuhunan Paku Buwana III. Raja-Raja Mataram Islam :
1. Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak
(1601- 1613 M)
3. Mas Rangsang bergelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II dikenal juga sebagai
Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada
1703 M)
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku
Buwana I (1703-1719 M)
8. Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan
Prabu (1719-1727 M)
9. Paku Buwana II (1727-1749 M)
10. Paku Buwana III pada
1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
11. Sultan Agung.
D. KEHIDUPAN EKONOMI MATARAM ISLAM
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai
kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun
demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena
Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah persawahan. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan
daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur
dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan
palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan
menjadi barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras
paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram
berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
E. KEHIDUPAN POLITIK MATARAM ISLAM
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan
Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha
menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta
Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram
terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang
bergelarSultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan
oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan
daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya
selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan
sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja
Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati
ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung
merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram
mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan
bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan
Banten. daerah-daerah tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui
ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan
Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga
mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga
berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan
penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi
serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC
antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira
membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit
diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk
mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh
VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak
pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan
Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak
menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem
persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
F. KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA MATARAM ISLAM
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, masyarakat Mataram disusun
berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik
tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu
oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji
berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh
kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat
atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem
feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat
berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang
tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni
sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam
pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya
gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada
masa Sultan Agung.Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam adalah
penggunaan kalender Jawa, adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab
undang-undang yang disebut Surya Alam. Contoh-contoh tersebut merupakan hasil
karya dari Sultan Agung sendiri. Di samping itu juga adanya upacara Grebeg pada
hari-hari besar Islam yang ditandai berupa kenduri Gunungan yang dibuat dari
berbagai makanan maupun hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi
sejak zaman Majapahit sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang.
G. TERPECAHNYA MATARAM ISLAM
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau
"Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena
banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan
besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum(1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan
istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya,
kraton dipindahkan lagi keKartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama
dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708),
Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749).
VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat
Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini
menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi
"king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah
pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalamPerjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur
kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakartaadalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
H. USAHA-USAHA MATARAM ISLAM DALAM PERLUASAN WILAYAH
Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian
Jawa Barat. Sultan Agung di samping dikenal sebagai raaja juga pemimpin agama.
Kehidupan beragama mendapat perhatian dan pengembangan yang sangat pesat.
Sultan Agung dikenal juga sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam
mengusir penjajah Belanda. Pengaruh Mataram saampai ke Palembang, Jambi,
Banjarmasin, dan ke timur sampai Gowa Makasar. Pengaruh ini ditandai adanya
hubungan kerja sama dan saling mengirim utusan antara daerah-daerah tersebut
dengan Mataram. Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung
meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Ø Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini
dimulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,
Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam
di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung
mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya
yaitu Ratu Wandansari.
Anti penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal
ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama
tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami
kegagalan. Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:
-
Jarak yang terlalu jauh
berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan
kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
-
Kekurangan dukungan
logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
-
Kalah dalam sistem
persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
-
Banyak prajurit Mataram
yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
-
Portugis bersedia
membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut, sedangkan Mataram lewat
darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai
Belanda tanpa bantuan Portugis.
-
Kesalahan politik
Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang
Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
-
Sistem koordinasi yang
kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan
laut mengadakan penyerangan lebih awalm sehingga rencana penyerangan Mataram
ini diketahui Belanda.
-
Akibat penghianatan
oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda
sebelumnya.
Ø Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
-
Sebagai negara agraris,
Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai
di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk
(transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang
baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
-
Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,
tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata
tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
Ø Bidang Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
-
Timbulnya kebudayaan
kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa
dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek
moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Saampai kini, di jawa
kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
-
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram
menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah).
Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam
berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan
tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan
Agung ini kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”.
-
Berkembangnya
Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang
pesat, termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang
kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan
kenegaraan. Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata.
Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun
1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanian
Giyanti (1755) berikut:
-
Mataram Timur yang
dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat
pemerintahan di Surakarta.
-
Mataram Barat yang
dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang
bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu
Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta
juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena
campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan Mataram, sehingga
mudah untuk di kuasai.
I. KERUNTUHAN MATARAM ISLAM
Sultan Agung tidak mempunyai pengganti yang mumpuni sepeninggalnya. Putra
mahkota sangat bertolak belakang sifat dan kepribadiannya dengan sang ayah.
Kegemarannya pada kehidupan keduniawian telah mendorongnya ke jurang kehancuran
kerajaan. Maka dimulailah pemerintahannya sebagai raja Mataram bergelar Sunan
Amangkurat I (1646-1677).
Raja ini mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan para pendahulunya. Gaya
pemerintahannya cenderung lalim, tidak suka bergaul (terasing) dan terlalu
curiga dengan semua orang. Para pejabat di zaman pemerintahan ayahnya dihabisi
dengan bengis, entah dengan hukuman cekik sampai mati untuk perkara-perkara
yang sudah diatur (jebakan) atau dengan cara dikorbankan menjadi memimpin
armada perang ke luar Mataram.
Hubungan antar kerabat pun tidak berjalan baik. Bahkan dengan putra
mahkotanya, Sunan Amangkurat I terlibat bersaing dalam urusan wanita pilihan
sebagai istri. Kejadian ini memunculkan tragedi berupa tewasnya mertua dan
saudara-saudara raja. Karena putra mahkota didukung oleh kakeknya, P. Pekik
(mertua Amangkurat I) untuk menikahi seorang gadis cantik bernama Rara Oyi,
putri Ngabehi Mangunjaya dari tepi Kali Mas Surabaya. P. Pekik berasal
dari Surabaya terlibat membantu putra mahkota yang merupakan saingan sang raja
dalam perebutan putri tersebut.
Kebengisan sunan dapat dilacak dari catatan pejabat Belanda maupun dalam
babad Jawa.Banyak kejadian tidak masuk akal pada pemerintahannya. Pernah sang
raja mengatur pembunuhan untuk adiknya, P. Alit. Karena sang adik dihasut
para pangeran di kerajaan untuk menuntut tahta. Bahkan raja pernah melakukan
genocide terhadap lima ribu ulama.
Sifat bengis sunan ini telah menimbulkan sikap anti pati dan ketakutan
rakyatnya. Oleh sebab itu ketika terjadi serbuan dari kelompok P. Trunajaya dari
Madura, raja tidak mampu menangkisnya. Karena rakyat bersatu padu menyerang
istana. Sunan Amangkurat I menyingkir hingga meninggal karena sakit dalam
pelariannya di Wanayasa, Banyumas utara. Konon pula, untuk mempercepat
kematiannya, putra mahkota yang kelak menjadi Amangkurat II memberi sebutir pil
racun pada sang ayah. Amangkurat I dimakamkan di Tegalwangi, dekat dengan
gurunya yaitu Tumenggung Danupaya.
Bagaimanapun buruknya Amangkurat I, beliau tetap mempunyai karya
besar. Dalam bidang arsitektur, sunan membuat istana baru di Plered
(selatan Kuta Gede) dengan konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana
Mataram tersebut dilandasi oleh sifatnya yang tidak mau kalah dengan
keberhasilan sang ayah.
Untuk pekerjaan ini, sunan mengerahkan para penduduk hingga luar ibu kota
agar membuat batu bata sebagai tembok kraton dan membendung sungai Opak menjadi
danau besar. Utusan VOC, Rijklof van Goens mencatat bahwa ia sangat takjub
dengan kraton Plered yang seolah-olah mengapung di lautan. Untuk mencapai alun-alun
sebelum ke istana, orang harus melewati jembatan batang yang dibangun permanen.
Wafatnya Amangkurat I, membuat Putra mahkota mempunyai modal besar
menggantikan tahta Mataram. Dengan bekal pusaka-pusaka kerajaan, beliau
berusaha mengusir gerakan Trunajaya dengan meminta dukungan VOC. Putra
mahkota naik tahta bergelar Sunan Amangkurat II (1677-1703).
Ibu kota Mataram dipindah, bergerak ke timur di Kartasura. Karena P.
Puger (adik Amangkurat II) tetap berdiam di istana Plered, setelah Amangkurat I
wafat. Beliau berpendapat bahwa dirinya yang berhak atas tahta Mataram.
Karena dirinya yang mendapat wahyu dari sang ayah (Amangkurat I) bukan
putra mahkota (Amangkurat II). Kejadian tersebut ketika P. Puger menunggui ajal
sang ayah.
Namun akhirnya P. Puger mengakui kekuasaan Amangkurat II di Kartasura tahun
1680. setelah terjadi pertikaian alot. Meskipun pada masa-masa sesudahnya, P.
Puger tetap membara semangatnya untuk mencapai tahta Mataram. Kelak akhirnya
sang pangeran bertahta sebagai Sunan Paku Buwana I.
Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) di Kartasura dibangun dengan
dukungan penuh VOC. Oleh karena itu, dirinya terikat dengan segala macam
permintaan VOC. Di sisi lain, sang raja sangat melindungi para pejuang dalam
melakukan perlawanan terhadap VOC, diantaranya adalah Untung Suropati. Ia
merupakan mantan perwira VOC yang akhirnya memusuhi resimennya karena
tindakannya yang sewenang-wenang.
Ketika VOC meminta sang raja untuk menyambut Kapten Tack di Kartasura,
muncullah ambivalensinya. Meskipun Kapten Tack ini sangat berjasa dengan
berhasil membunuh P. Trunajaya di Kediri, namun karena sifatnya yang
arogan di mata sang raja, maka Amangkurat II sangat membenci Kapten Tack.
Apalagi kedatangannya ke kraton Mataram adalah untuk mengusir gerakan Untung
Suropati.
Untuk menutupi sikap ambivalensinya, Amangkurat II menyambut baik
kedatangan Kapten Tack di depan istana Kartasura. Namun, beliau telah mengatur
siasat dengan pasukan Suropati untuk menyamar sebagai prajurit Mataram.
Tiba-tiba terjadi huru hara di saat Kapten Tack datang di istana yang
menyebabkan dirinya terbunuh (Feb 1686). Sayang, tindakan sunan tersebut
diketahui oleh sang adik, P. Puger. Kelak beliau menunjukkan bukti-bukti
kuat kepada VOC soal keterlibatan sang raja dalam peristiwa itu. Inilah senjata
ampuh P. Puger dalam mendongkel tahta keturunan Sunan Amangkurat II.
Dalam kehidupan seni budaya, dukungan kuat VOC telah
mempengaruhi Amangkurat II untuk menerapkan etiket Eropa di dalam istana.
Tata cara adat sembah untuk menghormat raja mulai diubah tidak dengan cara
duduk bersila, melainkan dengan berdiri tegak lurus tangan dan kaki, topi
diletakkan di lengan. Ini berlaku bagi orang-orang Eropa. Bahkan mereka
diperkenankan duduk di bangku, bukan duduk bersila di lantai seperti layaknya
pada pejabat Mataram. Inilah revolusi sosial yang mulai berlaku di istana
Mataram.
Ketika Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan oleh putra
mahkota bergelar Amangkurat III (1703-1708). Raja ini juga menggalang
persahabatan dengan Untung Suropati, seperti ayahnya. Sementara itu, di istana
terjadi konflik lama. Sang paman, P. Puger tetap ngotot menginginkan tahta.
Dengan bukti-bukti kuat keterlibatan Amangkurat II dan III soal wafatnya Kapten
Tack, maka P. Puger dinaikkan tahta sebagai raja Mataram oleh VOC, bergelar
Sunan Paku Buwana I (1704-1719). Beliau bertahta di Semarang.
Amangkurat III diserang oleh VOC dan Sunan PB I. Beliau melarikan diri ke
Jawa Timur, akhirnya dapat ditawan VOC (1708) kemudian diasingkan ke Sri Lanka.
Sunan PB I kemudian bertahta di Kartasura. Masa-masa pemerintahannya dibayar
mahal dengan menyerahkan daerah-daerah pesisir kepada VOC. Suatu kesalahan
besar. Karena sumber pendapatan Mataram berkurang drastis. Ianilah yang
memancing konflik intern berkepanjangan.
Kondisi kerajaan tidak pernah stabil. Para pangeran merasa bahwa pengaruh
dan kebijakan VOC sangat menancap di Mataram. Terjadi beberapa pemberontakan
yang dilakukan para pembesar kerajaan yang tidak puas dengan kondisi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung terus bahkan hingga wafatnya Sunan PB I
dan digantikan sang putra dengan gelar Sunan Amangkurat IV (1719-1726).
Catatan Belanda menunjukkan bahwa Amangkurat IV seperti seorang raja yang
telah ditinggalkan rakyatnya. Kerajaan sangat rapuh, potensi perpecahan dan
konflik intern merebak. Bahkan hingga wafatnya, sang raja
pengganti (Sunan PB II) mewarisi kerapuhan tersebut.
Sunan PB II (1726-1749) memegang tampuk pemerintahan dalam usia muda belia,
16 tahun. Hal itulah yang membuat sang bunda, Ratu Amangkurat IV yang mendukung
VOC melakukan intervensi pada pemerintahannya. Sementara itu patihnya, Danurejo
sangat anti VOC.
Sebagaimana sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan tidak solid, Sunan PB
II pun dirongrong oleh hutang-hutang yang harus dibayarkan kepada VOC. Bahkan
kerajaan mengalami perang besar, yaitu pemberontakan orang-orang Cina yang
semula terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet hingga Kartasura. Perang
yang dikenal sebagai Geger Pacina ini telah membuat sunan bersama gubernur
pesisir van Hohendorff harus melarikan diri ke Jawa Timur karena istana Mataram
diduduki kaum pemberontak.
Beruntung, VOC dapat menyusun kekuatan dan berhasil menduduki kembali
Kartasura tahun 1742. Namun kondisi istana yang sudah poranda tidak layak
sebagai ibukota kerajaan dan paham Jawa mengatakan bahwa istana yang sudah
diduduki musuh, tidak lagi suci sebagai ibukota. Dengan dukungan VOC, Sunan PB
II membangun istana baru. Desa Sala atau kemudian dikenal dengan Surakarta
Hadiningrat terpilih dari 3 alternatif yang diajukan dan sunan mulai
mendiaminya pada 1745(1746). Arsitek pembangunan kraton adalah adik sunan,
P. Mangkubumi (kelak bergelar Sultan HB I).
Harga mahal yang harus dibayar raja kepada VOC karena berhasil memadamkan
perang pacina adalah kesepakatan bahwa VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu
Madura, Sumenep dan Pamekasan. Selain itu, VOC lah yang menentukan pejabat
patih Mataram serta penguasa pesisir.
Akibat jatuhnya pesisir ke tangan VOC, para pejabat Mataram geram.
Bermunculan para pemberontak yang merongrong istana Surakarta Hadiningrat.
Diantaranya yang terkenal adalah pasukan Raden Mas Said (1746), keponakan raja.
Untuk memadamkan pemberontakan itu, sunan mengadakan sayembara berupa pemberian
tanah Sokawati bagi yang berhasil memadamkannya. Maka tampillah adik raja, P.
Mangkubumi. Dengan kemampuannya mengatur strategi perang dan penguasaan medan
yang jitu, akhirnya gerakan Mas Said dapat ditumpas. Namun sunan mengampuni
keponakannya itu.
Masalah timbul, ketika dalam pertemuan agung kerajaan, langkah sunan hendak
menyerahkan hadiah tanah Sokawati kepada P. Mangkubumi dihalangi oleh patihnya,
Pringgalaya dan gubernur van Imhoff. Menurut gubernur VOC tersebut, Mangkubumi
tidak layak mendapat hadiah 4000 cacah. Seakan-akan hendak menandingi
kekuasaan raja.
P. Mangkubumi kecewa, dipermalukan dihadapan umum oleh van Imhoff. Maka 19
Mei 1746, beliau berontak pada VOC , keluar dari Surakarta, lalu mendiami
Sokawati dengan kekuatan 2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta 13000 anak buah
dan punggawa yang mendukungnya. Beliau melancarkan serangan kepada VOC di
Grobogan, Juana, Demak, Jipang (Bojonegoro). Pasukannya bertambah kuat dengan
bergabungnya RM. Said, sang keponakan yang sempat ditundukkannya. Persatuan
paman dan keponakan ini bahkan hampir menguasai istana Surakarta (1748).
Kondisi kerajaan yang tidak stabil membuat Sunan PB II jatuh sakit. Seakan
sudah pasrah dengan kerajaannya yang tidak solid, beliau menyerahkan Mataram
kepada gubernur Baron von Hohendorff (11 Desember 1749). Inilah kesalahan
terbesar yang dilakukan raja. Keputusan tersebut menyulut P. Mangkubumi untuk
bergerak, agar dapat menarik kembali kerajaan tetap dalam pangkuan dinasti
Mataram. Beliau mengangkat dirinya sebagai Sunan Pakubuwana di desa Bering,
Yogyakarta (12 des 1749). Tindakan ini sebagai langkah mendahului keponakannya
(putra mahkota PB II yang baru 16 tahun), yang akan dinaikkan tahta oleh VOC
sebagai Sunan PB III.
Inilah babak baru periode kerajaan Mataram terbagi dua.
P. Mangkubumi sebagai
raja didampingi RM. Said sebagai patihnya. Kedua tokoh ini merupakan dwi
tunggal kekuatan yang sulit ditembus VOC maupun Surakarta Hadiningrat dibawah
PB III. Sayang persekutuan sultan dan patihnya yang juga merupakan menantu,
akhirnya pecah di tahun 1753 akibat benturan konflik pribadi soal tahta Mataram
yang masih dipegang Sunan PB III.
VOC yang sudah lelah dengan panjangnya peperangan, mulai menempuh jalur
perundingan. Bahkan RM. Said pernah menulis surat ke VOC bersedia berunding
dengan syarat diangkat sebagai sunan. Rupanya VOC tidak mengindahkannya, namun
melirik pada P. Mangkubumi. VOC mendekatinya bahkan mengganti pejabatnya yang
tidak disukai P. Mangkubumi dalam upaya perundingan, yaitu van Hohendorff. VOC
menggantikannya dengan Nicolaas Hartingh. Seorang Belanda yang sangat mengerti
tata krama Jawa, pribadi yang lebih disukai P. Mangkubumi. Dalam hal ini
Hohendorff sadar diri, ia tidak akan bisa kontak dengan Mangkubumi dan
hal tersebut sangat merugikan VOC. Selain itu, citranya sudah buruk di
Surakarta. Oleh karena itu pengunduran diri Hohendorff merupakan langkah maju
bagi VOC guna membuka perundingan dengan P. Mangkubumi.
Kesepakatan tercapai melalui Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755).
Menyatakan Mataram dibagi dua. Sunan PB III tetap bertahta di Surakarta
Hadiningrat dengan kekuasaan meliputi : Ponorogo, Kediri, Banyumas. P.
Mangkubumi bertahta di desa Bering yang lebih dikenal dengan Ngayogyakarta
Hadiningrat, dengan wilayah meliputi Grobogan, Kertasana, Jipang, Japan,
Madiun. Sementara Pacitan dibagi untuk keduanya, termasuk Kotagede dan makam
Kerajaan Imogiri.
Sunan PB III yang tidak diikutkan dalam perundingan tersebut tidak dapat
berbuat banyak, hanya bisa menerimanya. Sementara itu, RM. Said semakin kecewa
karena tidak mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu dirinya semakin gencar
melakukan perlawanan baik kepada Sultan HB I, Sunan PB III, dan VOC.
Merasa tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan jalan damai, melalui
perundingan Salatiga (1757). Dalam perundingan tersebut Mas Said menyatakan
kesetiaannya pada raja Surakarta Hadiningrat dan VOC. Sunan PB III memberikan
tanah 4000 cacah dengan wilayah meliputi Nglaroh, Karanganyar, Wonogiri.
Sementara, Sultan HB I tidak memberikan apa-apa. Kemudian RM. Said dinobatkan
sebagai adipati Mangkunegara I. Kerajaannya bernama Mangkunegaran.
Demikianlah kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3 kekuasaan yang
diperintah Sunan PB III, Sultan HB I, dan Mangkunegara I. Konflik antar
pangeran mulai mereda, keamanan relatif stabil. Namun dalam kedua perundingan
yang telah disepakati tersebut tidak dicantumkan hal pengganti tahta. Oleh
karena itu masih terbuka peluang untuk menyatukan tahta Mataram. MN I berharap
akan tahta Surakarta. Oleh karena itu, putranya (Prabu Widjojo) dinikahkan
dengan putri PB III, GKR Alit. Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang
putra, Namun harapan MN I pupus, karena PB III kemudian mempunyai putra
mahkota. Kelak putra Ratu Alit dan Prabu Widjojo bertahta sebagai MN II.
Demikian pula upaya Mas Said menikah dengan GKR Bendara, putri sulung HB I.
Sayang sang putri menceraikannya (1763) yang kemudian menikah dengan P.
Diponegara (dari Yogyakarta). Oleh karena itu, terputuslah harapan Mangkunegara
untuk merajut tahta Mataram dalam satu kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga
penyatuan Mataram akan merumitkan VOC karena sukar mengendalikan satu kekuatan
besar di Jawa. Dengan terbagi-baginya kerajaan, maka akan mudah bagi VOC
menancapkan hegemoni dan superiornya di Tanah Jawa.
J. PENINGGALAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
Gerbang Makam Kotagede
Inilah gerbang masuk makam Kotagede, di sini nampak perpaduan unsur
bangunan Hindu dan Islam.
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno,
inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
Bangsal Duda
Di sinilah tempat peziarah mendapatkan informasi dari jurukunci makam yang
berasal dari Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Di tempat ini jugalah
peziarah menanggalkan pakaiannya untuk berganti pakaian peranakan jika hendak
memasuki komplek makam.
Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di
Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yang dibakar
melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya.
K. PERISTIWA
PENTING DI MATARAM ISLAM
1558 - Ki Ageng Pemanahandihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya
mengalahkan Arya Penangsang.
1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkatSutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
1587 - Pasukan Kesultanan
Pajangyang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perangdan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolangyang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal
sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu
(jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknyaRaden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan
Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah
Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar
bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman".
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaanMataram, yang
dimanfaatkan olehVOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan.
Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai
memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOCPangeran Puger
ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota
dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang
Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang
bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II
berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat
(menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang
biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan
atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di
tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10
tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan besar dan satu
kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku
Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara
de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 12 Desember 1830 di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan
Paku Buwono oleh para pengikutnya.15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku
Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi
Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan
Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya
pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan
terjadi, ditandai denganPerjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaituKesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumimenjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau
lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaranyang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alamanyang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan
Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan
Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh
Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem
Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai
kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun
demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena
Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah persawahan. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan
daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur
dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan
palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama,
bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor
beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram
berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian
Jawa Barat. Sultan Agung di samping dikenal sebagai raaja juga pemimpin agama.
Kehidupan beragama mendapat perhatian dan pengembangan yang sangat pesat.
Sultan Agung dikenal juga sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam
mengusir penjajah Belanda. Pengaruh Mataram saampai ke Palembang, Jambi,
Banjarmasin, dan ke timur sampai Gowa Makasar. Pengaruh ini ditandai adanya
hubungan kerja sama dan saling mengirim utusan antara daerah-daerah tersebut
dengan Mataram. Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung
meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda