Resensi sejarah
Judul
: Penyebaran Islam Di Daerah
Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17
Pengarang : APIPUDIN. 2010. BANDUNG
Penerbit : BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
Tebal
: 343 Halaman

Dari perkawinannya dengan Puteri
Bakulapura (Kutai) keturunan keluarga kudungga yang bernama Dewi Mutyasari,
sang Suraliman mempunyai seorang putera dan seorang puteri. Yang sulung bernama
Sang Kandiawan, disebut juga Sang Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Adik
Sang Kandiawan, Sang Kandiawati menikah dengan seorang saudagar dari pulau
sumatera dan tinggal dinegeri suaminya. Sang Suralliman menjadi Raja Kendan
selama 29 tahun ia mempunyai orang anak
yaitu: Sang Mangkuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandangreba,
dan sang Wretikandayun. Dia menjadi raja Kendan hanya 25 tahun setelah Sang
Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu dia menjadi petapa
dilayang watang daerah kuningan. Sebagai gantinya yaitu Sang Wretikandayun yang
waktu itu sudah menjadi Rajaresi di menir.
Sang Wretikandayun menggantikan kedudukan ayahnya pada tanggal 14 terang
bulan Caitra tahun 534 saka (23 maret 612 masehi). Sang Wretikandayun
memindahkan pusat pemerintahannya ke satu tempat yang diberi nama Galuh
(permata), yang berada dilahan yang diapit oleh sungai Cimuntur dan Citanduy
yang dikenal sebagai desa Karang Kamulyan, kecamatan Cijeungjing, kabupaten
Ciamis. Sebagai Rajaresi Sang Wretikandayun memilih permaisuri seorng puteri
pendeta Resi Makandria yang bernama Manawati. Sebagai permaisuri Manawati
dinobatkan dengan nama geSebagai permaisuri Manawati dinobatkan dengan nama
gelar Candraresmi. Dari perkawinannya Manawati Sang Wretikandayun memperolehh
tiga orang anak yaitu Sang Sempakwaja. Sang Jantaka, dan Sang Amara. Sang
Wretikandayun secara berturut-turut menjadi Raja daerah Kendan, dibawah
kekuasaan Sang Sudawarman, Sang Dewamurti, Sang Nagajayawarman, dan sang
Linggawarman. Tahun 669 Masehi, Sang Maharaja Linggawarman wafat, dan
digantikan oleh menantunya Maharaja Tarusbawa dengan gelar Sri Maharaja
Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Pada saat penobatan berlangsung tanggal 9
bagian terang bulan jesta tahun 591 saka (18 mei 669 Masehi). Pamor
Tarumanegara sudah jauh menurun, sang Tarusbawa berupaya untuk mengembalikan
citra Tarumanegara seperti pada masa kebesaran Sang Maharaja Purnawarman, untuk
mengembalikan kejayaan Tarumanegara Sang Tarusbawa mengubah nam Tarumanegara
menjadi kerajaan sunda lalu tindakan selanjutnya Sang Tarusbawa memindahkan
ibukota kerajaan dari Sundapura (bekasi) ke pakuan (bogor). Disebuah Lemah
duwur (ketinggian), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton yang bernama
Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.
Peristiwa perubahan nama
Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda itu dimanfaatkan oleh kerajaan Galuh
Wretikandayun untuk memerdekakan diri dari kekuasaan kerajaan Tarumanegara yang
sudah berganti nama. Sang Wretikandayun segera mengirimkan utusan ke ibu kota
kerajaan sunda, untuk penyampaiaan pesan khusus dari bahwa semua kerajaan yang
terletak disebelah timur Citarum tidak lagi tunduk dibawah kekuasaan kerajaan
Tarumanegara tetapi menjadi dibawah kekuasaan Galuh. Pada tahun 670 Masehi ,
Tarumanegara sebuah kerajaan besar Tarumanegara telah berakhir, sakaligus
mengakhiri kekuasaan Dinasti Warman. Sebagai penerusnya muncul dua kerajaan
baru yaitu disebelah barat citarum menjadi kerajaan sunda dan dikawasan sebelah
timurnya menjadi kerajaan Galuh.
Pada tahun 723 kerajaan sunda dan
kerajaan galuh disatukan, Sanjaya yang bertahta dipakuan pajajaran sampai tahun
732 sekaligus memerintah Galuh. Prasasti yang mencatat nama sanjaya adalah
prasasti Canggal berangka tahun 654 saka (732 Masehi). Dalam prasasti tersebut
diberitakan bahwa sanjaya membuat pemujaan untuk Dewa Siwa dengan mendirikan
sebuah Lingga diatas bukit Sthiragga yang berasal dari Kunjarakunjadesa. Agama
yang dianut kerajaan Galuh yaitu agama hindu aliran Siwa yang menganggap Siwa
sebagai Dewa terbesar disamping kedua dewa lainnya Brahma dan Wisnu. Dalam
naskah carita Parahiyangan diungkapkan bahwa Sanjaya adahubungannya dengan
Galuh karena Sena berkuasa di Galuh. Dimana terjadi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh Rahiyang Purbasora sehingga sang Sena dibuang kegunung
Merapi. Pada tahun 739 kerajaan sunda
dan kerajaan Galuh berpisah lagi karena adanya kemelut dalam istana, kerajaan
galuh diperintah oleh Manarah (739-783)sedangkan kerajaan sunda diperintah oleh
Kamarasa(739-759) tetapi status sunda dibawahan kerajaan Galuh. Oleh karena itu
Kamarasa memerintah kerajaan sunda sebagai Raja merdeka sejak 759 Masehi sampai
766.
Peristiwa kerajaan sunda dan Galuh
terjadi lagi setelah pemerintahan kerajaan Galuh Prabu Linggabumi (813-852).
Karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan maka kerajaan Galuh
diwariskan pada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus dari kerajaan Sunda lalu
sejak tahun 852 kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda bersatu lagi. Pada tahun 1333
pusat kerajaan sunda dan galuh pindah ke Kawali, Ciamis kerajaan tersebut
terkenal dengan nama Galuh Pakuan yang menunjukkan gabungan Galuh dan kerajaan
Sunda yang berpusat di pakuan. Prabu Ajiguna Linggawisesa atau sang Lumahing
kiding adalah Raja kerajaan Galuh dikawali. Pemerintahan dilanjutkan oleh
putranya yaitu Prabu Ragamulya tahun 1333-1357. Pengganti Prabu Ragamulya
adalah Linggabuana , putranya yang setelah raja disebut Prabu Maharaja
Linggabuan dari tahun 1350-1357. Prabu Linggabuana mempunyai empat orang anak
yang sulung bernama Dyah Pitaloka, anak kedua dan ketiga meninggaldan anak
keempat laki-laki yang bernama Niskala Wastukencana. Beliau adalah salah satu
tokoh yang paling terkenal dikerajaan Galuh, kekuasaanya membawahi kerajaan
Galuh dan kerajaan Sunda pada masa itu pemerintahan berpusat di keraton
Surawisesa, Kawali Ciamis.
Keharmonisan hubungan antara
kerajaan sunda dengan kerajan Galuh yang diwariskan oleh Mahaprabu Niskala
Watukancana terusik dengan datangnya rombongan pengungsi dari Majapahit yang
dipimpin oleh Rahadiyan Baribin berhasil mencapai wilayah Galuh dan tiba di
ibukota Kawali.
Para raja dan masyarakat kerajaan
Galuh sebelum kedatangan islam adalah Pemeluk agama Hindu. Diantara bukti untuk
hal tersebut adalah ditemukannya situs-situs purbakala yang merupakan tempat
suci atau tempat peribadatan penganut agama hindu. Salah satu peninggalan
tersebbut adalah Candi Cangkuang di desa Cangkuang. Didesa sukajaya, pamarican
ciamis terdapat sebuah candi yang disebut Candi Ronggeng. Dilingkungan kompleks
yang terbagi dalam beberapa halaman yang bertingkat ini terdapat enam prasasti
batu, prasasti-prasasti tersebut ditemukan pada halaman teringgi dan relatif
berada dipusat kompleks. Prasasti Kawali
menyebutkan bahwa toko raja yang berkedudukan dikadatuan Surawisesa yang
bernama Prabu Raja Wastu yang memerintah kerajaan dalam keadaan aman sejahtera
dan dalam waktu kurun yang cukup lama. Peninggalan lainnya adalah situs Eyang
Depok didesa Banjarharja, kalipucang, ciamis, yang berupa lahan bertingkat
dengan struktur bangunan dari tumpukan batu bekas reruntuhan sebuah candi.
Semuanya adalah tempat peribadatan masyarakat yag memeluk agama Hindu.
Peninggalan-peninggalan diatas merupakan sarana peribadatan bagi pemujaan para
dewata yang bernafaskan Hindu-Saiva dan sekaligus memuja Hyang.
Pada masa
kerajaan Galuh terdapat empat jenis tempat yang disucikan oleh masyarakat sunda
kuna yaitu dewa Sasana, Kawikuan, Kabuyutan, dan Pertapaan. Dewa sasana adalah tempat yang
dikeramatkan karena dipercaya sebagai tempat persemayaman para dewa yang
didalamnya terdapat pula bangunan suci untuk pemujaan dewa. Kawikuan adalah
tempat bermukimnya para Wiku yang berarti pendeta yang merupakan bentuk
pemukiman khusus yang relatif luas oleh karena itu disebut lurah kawikuan. Kabuyutan
adalah suatu tempat suci yang dikeramatkan dan dijadikan pusaka masyarakat.
Adapun pertapaan adalah tempat orang-orang melakukakan tapa atau semedi.
Kepercayaan masyarakat galuh juga dapat dibaca dan di telaah lewat
naskah-naskah seperti Sewakadarma, Jatiniskala, Kawih Paningkes, dan Senghyang
Siksa Kandang Karesyan. Masyarakat sunda sebelum islam ternyata telah memiliki
suatu taraf kehidupan sosial, ekonomi, Keruhanian dan kebudayaan yang cukup
tinggi.
Jadi pergeseran agama orang sunda
sudah dimulai sejak masa pemerintahan Sanjaya (723-732). Sanjaya menganjurkan
agar anaknya beralih agama karena dengan agama yang dianutnya ketika itu,
Sanjaya hanya menyebabkan orang menjadi takut. Sejak itu kedua gama itu
bersama-sama berkembang dan saling melengkapi serta saling isi bagian-bagian
yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan.
Dengan keadaan demikian maka tidaklah mengherankan jika pada awal abad
ke 18 ajaran agama yang dianut orang sunda tergambar bagaimana dicatat oleh
Sanghayang Siksa Kandang Karesyan. Bahkan dalam abad ke 18 masih memperlihatkan
bahwa hingga saat itu agama Islam belum sepenuhnya dianut oleh orang Sunda.
Carita Ratu Pakuan yang dituliskan pada tahun 1740 isinya sama sekali terbebas
dari pengaruh Islam, padahal ketika itu Islam boleh dikatakan sudah menjadi
“agama Negara” diberbagai kesultanan dijawa (Banten, Cirebon, Mataram). Rupanya
hingga abad ke 18 itu masih ada daerah-daerah terpencil yang belum terjamah
oleh agama Islam, antara lain daerah gunung Gupu tempat Aki Raga menuliskan
Carita Ratu Pakuan.
PROSES
ISLAMISASI
Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang
Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin Karena kondisi kekuasaan
politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi di
Indonesia melaui pintu barat. Oleh Karena itu mempunyai kemungkinan besar bila
masuknya Islam dari pintu gerbang barat.
Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran
Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer
ataupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi
missi ataupun semacam zending. J.C. van leur dalam hal ini menjelaskan bahwa
setiap pedagang islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan
meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
Pada abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan
perdagangan pada jalur pelayaran tersebut cukup ramai. Para pedagang muslim
mengunjungi pelabuhan yang terdapat di pesisir utara pulau jawa antara lain
banten, kalapa, indramayu (cimanuk), Cirebon, tuban, gresik, dan jepara. Pada abad ke-14 tidaklah berarti islam baru
masuk, melainkan telah meluas di Jawa Barat. Proses perluasan ini diawali
dengan masuknya sejak abad ke-7.
Sebagian daerah galuh berada pada lintasan
pelayaran niaga. Ditinjau dari letak geografisnya itu, daerah Cirebon adalah
daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama islam daripada daerah yang ada
di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan
Muhara Jati dan pasar Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari
berbagai negeri atau daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain.
Sebagian besar dari mereka adalah saudagar muslim. Sebagai muslim, para
saudagar itu akan berusaha memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang di
daerah setempat yang belum masuk islam.
Pada mulanya Islam disebarkan di Pantai Utara Jawa melalui kontak dagang,
kemudian di sana disebarkan ke pedalaman. Dengan kontak itu pula keuntungan
ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai orang-orang islam. Memang
keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung dengan adanya kontak dagang
dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak pada jaringan perdagangan
dengan orang-orang islam.
Masuk dan berkembangnya islam di daerah galuh semakin kuat, setelah Syarif
Hidayat datang di Cirebon dan menjadi penyebar agama Islam. Kedatangan Syarif
Hidayat ini menyebabkan agam Islam tidak hanya menyebar di daerah Cirebon,
tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa barat.
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa
barat pada abad ke-16. Bahwa pada 1513 penduduk Cirebon dan cimanuk (Indramayu)
sudah beragama Islam.
Keterangan Tome Pires memberikan ilustrasi
kepada kita tentang peranan Jawa Barat dalam jaringan perniagaan di Asia
Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya. Tidak saja sebagai wilayah yang
penting, tetapi juga ikut menentukan rute dan persinggahan kapal dagang.
Sekaligus memberikan informasi tentang meluasnya Islam di Jawa barat pada saat
itu.
Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama
islam yang datang di daerah Jawa Barat. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di
Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati
sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, putera
Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Seorang murid Syekh
Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa
pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih. Atas kebaikan Ki
Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di Karawang. Dalam
naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhopi.
Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Raja
Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi perintis pembangunan
kota Cirebon pada sekitar 1455M.
Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di daerah pemukimannya
masing-masing. Munculnya pesantren berarti adanya perkembangan dalam penyebaran
agama islam. Penyebaran agama islam yang semulanya berlangsung dari individu ke
individu, kemudian berkembang menjadi satu lembaga, yaitu pesantren. Dengan
kata lain berdirinya pesantren berarti terjadinya pembentukan kader penyebar
agama islam. Santri-santri yang telah memahami ajaran islam kemudian menyebaran
ajaran itu di lingkungan tempat tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas
perintah gurunya.
Carita Puraka Caruban Nagari juga menyebutkan tentang kegiatan perniagaan di
pantai Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu mencerikan, bahwa sebelum tempat
yang sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat
itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal bakal penduduk
Cirebon. Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu Pelabuhan Muhara
Jati dan pasar Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat daerah yang bernama
Singapura, dan disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah selatan bagian
pedalaman terletak Caruban Girang. Kiranya masyarakat di tempat-tempat itulah
yang diislamkan oleh Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama santrinya.
Penyebaran agama islam di Cirebon, khususnya di Cirebon Pantai (Caruban Hilir),
berkaitan erat dengan peranan pelabuhan Muhara Jati dengan Pasar Pasembangan.
Kedatangan saudagar-saudagar muslim di pelabuhan Muhara Jati dan Pasar
Pasembangan, memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam,
lebih-lebih bila para saudagar muslim itu singgah untuk waktu cukup lama,
menunggu saat yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam kesempatan itu,
para saudagar muslim memperkenalkan agama mereka kepada penduduk yang belum
menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa, bahwa masuk dan
menyebarnya agama islam di daerah Cirebon terjadi pula melalui kontak niaga.
Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya
kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar
di bukit Amparan Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar
ini dibangun pada tahun 1415M oleh panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho
beserta pengikut mereka. Pendiri mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina
dari dinasti Ming pimpinan Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke
negara-negara Asia Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia
Tenggara pada abad ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama
islam, Orang-orang Cina Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho antara
lain Ma Huan dan Feh Tsin.
Selama pembangunan mercusuar di bukit Amparan Jati mungkin terjadi kontak
antara orang-orang Cina dengan penduduk di daerah setempat, termasuk kontak
dalam masalah agama islam. Terjadinya kontak antara penduduk Cirebon dengan
orang-orang islam di berbagai negara, menyebabkan dalam perkembangannya
masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur budaya bangsa lain, baik yang
bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata lain, sifat heterogen
masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi juga dalam hal budaya
termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran dan pembentukan
kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor utama yang
menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang sekaligus berperan
dalam penyebaran agama Islam.
Kahane menyatakan bahwa Islam menyebar secara bertahap melalui guru-guru agama
dan institusi sehingga menjadi agama mayoritas di Jawa. Difusi atau konversi
Islam di Indonesia dapat berjalan dengan lancar karena sejumlah factor.
Pertama, Islam datang di Jawa lebih dahulu dibanding Kristen dan para pedagang
muslim menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di sana. Kedua, Islam
dianggap sebagai agama yang mudah untuk dilaksanakan. Ketiga, Terdapat kemiripan
ajaran Islam dengan agama tradisional Jawa; sufi dan magis yang ada di Islam
pada saat itu sama dengan kepercayaan animis dan Hindu. Keempat, ada
kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) anatara agama Jawa dan Islam. Kelima,
adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan dagang, pembangunan, dan pertukaran
adalah alasan para pedagang untuk masuk islam. Kenam, Taktik penetrasi Islam
diantaranya alah para pedagang Arab menikah dengan wanita setempat dan
mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya, para ulama datang untuk mendirikan
institusi islam yaitu mesjid dan pesantren. Ketujuh, Islam dijadikan alat untuk
melawan Kolonial Barat. Kedelapan, penyebaran Islam akibat kevakuman religi dan
budaya serta institusi karena kehancuran sentralisasi kerajaan, yaitu
kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11 dan kehancuran Majapahit ada bad ke-16.
Islam mengkompromikan kepentingan para pedagang dan para pengusaha lokal. Oleh
karena itu, ada motivasi politik dan ekonomi di sana. Islam dengan sufinya
mengisi kevakuman kultural dan struktural sehingga diterima oleh koalisi
pedagang dan penguasa lokal yang ingin meningkatkan kekuatan ekonomi dan
politik mereka.
Penyebaran agama Islam di Cirebon Hilir lebih pesat daripada di Cirebon Girang
yang dipelopori oleh Haji Purwa, karena Islamisasi di Cirebon Hilir tidak hanya
dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula oleh
saudagar-saudagar muslim yang singgah di pelabuhan Muhara Jati.
Sunan Gunung
Jati
Islamisasi di daerah Galuh semakin meningkat
setelah Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada tahun 1470M. Selain singggah
di Pasai setelah tiba di Indonesia, Sunan Gunung Jati datang ke Banten. Di sini
dilihatnya agama Islam telah bekembang sebagai hasil dari dakwah Sunan Ampel
Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di
Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku guru besar agama Islam di Jawa dan
pimpinan para wali, menugaskan Syarif Hidayat untuk menyebarkan agama islam
diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan berkedudukan di bukit Amparan Jati,
Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren. Sebagai guru agama, dia bergelah
Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai wali yang kesembilan dia bergelar
Sunan Gunung Jati.
Adapun
gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah 9 tahun kemudian ketika diangkat sebagai
Tumenggung di Cirebon. Selain itu Sunan Gunung Jati juga disebut sebagai raja
pendeta yang pengertiannya sama dengan khalifah. Jabatan ini dipegangnya selama
47 tahun, dan kemudian diserahkan kepada putranya yakni Pangeran Pasarean
(1526).
Setelah penyerahan kekuasaan kepada putranya,
Sunan Gunung Jati mengadakan aktivitas dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat
kita lihat dari hasil penyerangan pendudukan sunda kelapa yang gemilang,
sehingga memudakan untuk mematahkan usaha penjajahan Portugis adan penyebaran
agamanya. Tugas penyebaran Islam di Jawa barat ini masih dapat diteruskan
hingga akhir hayatnya pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung,
Cirebon. Makam ini sampai sekarang dapat kita lihat sebagai makam Sunan
Gunung Jati.
Setelah
selesai menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia berangkat ke tanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Di sana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh
Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan
Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya
Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan putri Cakra
Buana pada tahun 1479M dengan diangkatnya dia sebagai pangeran dakwah Islam
dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.
Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan tugas dan kewajibannya mengislamkan
masyarakat Galuh dan Jawa bagian barat dengan gemilang. Keberhasilan Sunan
Gunung Jati tidak terlepas dari sifat dan sikap serta tindakannya yang syarat
dengan kepemimpinan tradisional, khususnya kepemimpinan dalam keagamaan. Dia
adalah figure manusia ideal dalam ukuran zamannya.
Kurang lebih dua tahun setelah memegang pemerintahan daerah Cirebon
(1481/1482), Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati) mengislamkan daerah Luragung
dan Kuningan.
Penyebaran agama islam di Kuningan menunjukkan perkembangan yang meningkat.
Upaya penyebaran agama islam dilanjutkan oleh para pengusa dan para ulama lokal
Kuningan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh keberadaan tokoh ulama yang bernama
Haji Hasan Maulani dan desa Lengkong Kuningan. Beliau dikenal pula dengan
sebutan Eyang Hasan Maulani atau Eyang Hasan Menado karena meninggla di Menado.
Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh ulama yang menurunkan ulama-ulama
lainnya di Kuningan.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan
Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh
cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang
bergelar Panembahan Gerilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya
sampai masa kekuasaan pangeran Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai
dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya
atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh
memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar
Syamsuddin sementara Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar
Badruddin.
PENYEBARAN
ISLAM DI SUMEDANG
KERAJAAN
SUMEDANG SEBELUM ISLAM
Masyarakat Sumedang, sebelum Islam, mempercayai
Agama Hindu-Budha. Disekitar Gunung Tampomas, daerah Cilangkap dua buah
ditemukan sebuah area Ganesha. Ganesha ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak
dipuja sebagai dewa tertinggi dan dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan
Budha berakhir setelah Pangeran Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun
Sumedang dan mengislamkan para pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke
Sumedang secara kenegaraan dan secara politik kurang lebih pada abad ke-15.
KERAJAAN SUMEDANG
ISLAM
Dalam tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor
penyebaran agama Islam di Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad atau
Pangeran Palakaran. Pada tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan
seorang puteri Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan
atau dikenal dengan nama Pangeran Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri
menukah dengan Ratu Satyasih, putrid Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya
menjadi penguasa Sumedanglarang karena Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan
kepadanya. Pangeran Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang
pada tanggal 21 Oktober 1530. Dia adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang
menganut agama Islam, dengan status bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada
tanggal 2 Oktober 1579 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun
Daerah pesisir Cirebon merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan ekonomi
perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan juga merupakan pusat penyebaran agama
dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai
memasuki sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Pemerintahan Islam dimulai
sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih yang bergelar Ratu Pucuk Umun.
Dari Cirebon Islam tersebar ke daerah pedalaman, termasuk Sumedang yang menjadi
jalur lalu lintas antara Cirebon-Bandung. Pada pertengahan abad abad ke-16,
agam Islam sudah mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Salah satu keturunan
Raja Sumedanglarang yang telah masuk Islam pada waktu itu adalah Ratu Pucuk
Umun. Dia menikah dengan Pangeran Santri yang bergelar Ki Gedeng Sumedang
(1505-1579M). Disamping menjadi penguasa Sumedanglarang, dia bersama istrinya
Ratu Pucuk Umun menyebarkan ajaran Islam. Pengganti Pangeran Santri adalah
Pangeran Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu Satyasih yang dilahirkan
pada tahun 1558. Setelah berusia 23 tahun, dia dinobatkan menjadi raja pada
tanggal 18 November 1580, dengan gelar Ulun Sumedanglarang.
PENYEBARAN
ISLAM DI TASIKMALAYA
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para mubalig yang
mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka bermukim di
wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima dengan relative mudah, cepat,
dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama islam itu tidak
dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah agama
islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu
tempat, maka untuk memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan
Islami, dan praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak
dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam
bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren
Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota
Cirebon.
Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional
lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota
pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama
didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh
Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul
pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik
yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.
Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal
Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter
antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu
yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup penghuninya
mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan
ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan
dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman,
pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana
ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.
Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul
Muhyi ke Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib
nenek moyang, penyembah pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau
yang disebut dengan animism dan dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat,
bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan juga mendesak penduduk setempat
yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di dalam gua Safarwadi.
Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan
Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan.
Karena akhlak yang baik seperti dalam sikap yang santun, berbicara dengan ramah
dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat menaruh simpatik kepadanya
dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi murid Syekh
Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan
kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat
memeluk agama Islam secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah
dari daerah tersebut karena terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan
Islam.
Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh
karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa
Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan
tradisi Wali Sanga.
Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala geografis dan cultural.
Untuk menghadapi kendala geografis, dia harus turun-naik gunung dalam
menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke kampong yang lain mengingat letak
perkampungan daerah pegunungan. Priangan merupakan wilayah pegunungan dan
mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi kendala cultural, dia harus
memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Pamijahan yang
sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan agama nenek moyang. Dalam menghadapi
kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul Muhyi tidak hanya mendapat reaksi
positif dari masyarakat yang didatanginya, tetapi juga sekelompok masyarakat
yang menghalangi misinya.
PENYEBARAN
ISLAM DI CIAMIS
PANJALU
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah penyebar
Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar untuk
pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya diteruskan oleh anak dan
keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong cepat karena didukung oleh
para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut R.H Atong Tjakradinata,
sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat
Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan ketuhanan, kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat
tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat.
Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru
ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang
satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam secara masal dan terbuka
kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai beberapa pengikut, beliau
mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas
jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai
aspek kehidupan dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di
samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam
yang dapat mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat, membina dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.
KAWALI
Untuk
memerintah Kawali, Sunan Gunung Jati menempatkan Dalem Dungkut , anak raja
Kuningan (Langlang buana). Pengangkata Dalem Dungkut di Kawali menjadi
permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali, Ciamis.
Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi tugas oleh Kesultanan Cirebon untuk menjadi
penguasa di Galuh Kawali menggantikan Prabu Jayadiningrat . Pangeran Bangsit
(1575-1592) adalah putra pangeran Dungkut yang melanjutkan pemerintahan
menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali.
Pangeran Mahadikusuma (1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia juga
salah satu ulama yang dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di
Kawali. Dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.
KAWASEN
Penguasa
Kawasen yang pertama kali membangun Kawasen berasal dari Galuh Salawe (sekitar
Cimaragas sekarang), menantu dari Prabu Galuh Cipta Permana yang datang untuk
menyebarkan Islam.
Tumenggung Sutapura adalah penguasa di
kadaleman Kawasen yang terkenal setelah ayahnya, Dalem Kawasen. Kedaleman
Kawasen pada awalnya merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Galuh Garatengah. Raja Galuh Garatengah yang pertama memeluk agama Islam adalah
Prabu Cipta Permana yang menikah dengan Tanduran di Anjung, yaitu puteri dari
raja Kawali yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura,
kedaleman Kawasen semakin berkembang, terutama dalam penyebaran agama islam.
Selain itu, Sutapura juga terkenal gagah berani, hal ini dapart dibuktikan
degan keberhasilannya dalam mengalahkan Dipati Ukur yang memberontak kepada
Mataram. Dengan keberhasilan ini kemudian Sutapura memperoleh gelar Tumenggung
Sutanangga I. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup
berhasil, banyak penduduk yang semula menganut agama Hindu kemudian memeluk
Islam. Begitu pula dalam hal perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen
karena ditunjang oleh daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai
penunjang utama pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung
dengan aliran sungai yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan
makmur, mereka sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI GARUT
Kean Santang
Kean Santang
adalah putra Prabu Siliwangi. Dia terkenal gagah berani dan tidak ada seorang
pun di Pulau Jawa yang dapat menandinginya. Pada suatu hari, Kean Santang
menghadap ayahnya, yaitu Prabu Siliwangi untuk menyampaikan bahwa dia ingin
melihat darahnya sendiri. Ayahnya tertegun mendengar keinginan anaknya itu.
Diceritakan ada seorang kakek datang menghadap baginda dan mengatakan bahwa ada
orang yang dapat memperlihatkan darah anaknya yaitu Baginda Ali yang berada di
Mekkah. Kean Santang ingin mencari Baginda Ali ke mekkah dan setelah meminta
izin ayahnya, Kean Santang berangkat menuju Mekkah.
Diceritakan paginya, Baginda Ali beangkat ke Masjidilharam dengan membawa
tongkat. Diperjalanan dia bertemu dengan Kean Santang yang sedang mencari rumah
Ali. Kean Santang menjelaskan bahwa dia berasal dari Jawa dan maksud
kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung adu kekuatan. Baginda Ali
berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah, lalu dia mengaja Kean Santang
untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat pada tongkat yang
tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean Santang
mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan tetapi
tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah sahadat
dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda Ali,
Kean Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam serta
berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member tugas
kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.
Kean Santang atau Sunan Rahmat mengislamkan rakyat yang ada di Batulayang,
Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Dogdog, Curug Sempur dan Padusunan. Adik Sunan
Rahmat diserahi daerah Curug Dogdog. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di
Malasari, Timbangantenan, Dayeuh Pangadegan, Dayeuh Tambaja, Cilageni, Cikupa,
Sangkanluhur, Ciparay, Talaga, Cikaso, pagedeng, Dayeuh Manggung, Panggung,
Lebak jaya dan Karangtenang, Sukapunten, Kedunghalang, Malere, Singaparna,
Batununggal, Tawanggantungan, Cipatenggang, Cicarulang, Galuh, Parakan,
Pageragung, Cikidang, Tegallaja, Panjalu, dan Cihaurbeuti.
LIMBANGAN
Menurut
kepercayaan orang Limbangan sebelum Islam, Nyi Pohaci adalah Dewa pelndung
padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal dari airmata Dewa Anta yang
kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada gurudan kemudian menetas
menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai sekarang, pada sebagian
masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci sehingga masih mengadakan
ritual penghormatan dari mulai menanam sampai menuai padi.
Selain itu, masyarakat Limbangan sebelum mengenal Islam mempercayai makhluk
halus, mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan. Untuk
menghormati makhluk halus dan benda yang memiliki kekuatan sering diadakan
upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar makhluk ataupun benda-benda yang
memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak menatangkan malapetaka. Sampai
sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat
Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk melindungi kampung diadakan
penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.
Dari uraian diatas, diketahui ajaran-ajaran Hindu dan kepercayaan kepada
roh-roh pernah menjadi pegangan masyarakat Limbanagn. Setelah Islam
diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan yang diwariskan dari nenek oyang
sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun mayoritas masyarakat Limbanann
sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua unsur atau pengaruh ajaran-ajaran
nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih ada sebagian kecil masyarakat
melakukan tradisi upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat Limbangan
sebelum Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah
Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah ulama dan penyebar ajaran islam periode
awal di Limbangan. Dia mengajarkan ajaran Islam di keraton dan menyunat orang
yang masuk Islam. Karena keluwesan dalam memimpin pemerintahan maupun sebagi
tokoh agama yang mumpuni, akhirnya banyak rakyat bahkan para pejabat kerajaan
yang tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan lahir pada tahun 1510. Angka tahun
itu diperkirakan berdasarkan perhitungan berikut.Pertama, Adipati Liman Senjaya
Kusumah pernah membantu Kean Santang (1425-1550) dan pernah menghadap Sunan
Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat penghormatana atas jasa-jasanya dalam
penyebaran agama Islam. Kedua, tahun lahir seseorang diperkirakan secara
umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu generasi yang satu dengan yang
lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat
diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong (1450), lalu dari kelahiran
Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran Prabu Hande Limansanjaya
(1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkirakan
tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka ketika Sunan Cipancar
menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30 tahun sedangkan Kean
Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris dengan lafad Laa Iqrohaa
fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya kusumah pada tahun 1540.
Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama Islam. Demikian pula dia
menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun sebelum Sunan Gunung Jati wafat
(1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560 Sunan Cipancar berusia 50 tahun.
Kiraya wajar pula pada usia 50 tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama
cukup besar sehingga tergolong salah seorang pemimpin Islam yang di undang pada
peremuan terbatas yang penting yang diadakan oleh Sunan Gunung Jati.
Dakwah Adipati
Liman Senjaya Kusumah
Untuk mengajak orang memeluk agama Islam dan untuk mengambil simpatik
masyarakat, Adipati Liman Senjaya Kususmah juga selalu menunjukkan akhlak yang
baik dan selalu melakukan silaturrahmi. Dia selalu berupaya bertindak adil dan
bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat berbuat apa saja. Dalam
mengatasi satu persoalan negara pun, dia selalu mengundang tokoh-tokoh agama
Islam, para pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainya untuk diajak musyawarah
dan diminai pendapatnya. Dengan kebijaksanaan ini pula secara tidak langsung
telah menarik masyarakat yang belum memeluk Islam tertarik pada agama Islam.
Strategi yang dilakukan oleh Adipati Liman Senjaya Kusumah untuk menarik
simpatik masyarakat supaya memeluk agama Islam adalah mendatangi rumah dari pintu
ke pintu. Dia senantiasa bersikap ramah dan lemah lembut tapi bukan berarti dia
tidak bisa tegas bila diperlukan. Oleh karena itu dia menjadi pemmpin yang
dihormati dan disegani.
CANGKUANG
Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles Garut dilakukan oleh Arif Muhammad dan
temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah dengan arif dan bijaksana sehingga
secara berangsur-angsur masyarakat setempat berpindah keyakinan dari Hindu ke
Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih terus dilaksanakan seperti hari Rabu
menjadi hari besar dan tradisi ini berlanjut sampai sekarang.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI MAJALENGKA
Sekitar abad ke-14 pada masa pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai
menyebar ke Majalengka yang dibawa oleh santri Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan
Parung Gangsa/Pucuk Umun Talaga ditaklukan oleh Cirebon pada tahun 1530, dan
dia pun menjadi pemeluk Islam dan menjadi bawahan Cirebon.
Proses
Penyebaran Islam
Daerah-daerah yang masuk daerah Kesultanan
Cirebon, dan telah semuanya memeluk agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja,
dan Majalengka. Penyebaran agama Islam di Majalengka terutama didahului dengan
masuknya para bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar
lain diantaranya Dalem Sukahurang atau Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung
menyebarkan agama Islam di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad
dan Siti Armilah di Sindangkasih dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.
Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang penyebaran islam di
daerah galuh saja tetapi juga memberitahukan proses kedatangan islam ke galuh,
tokoh-tokoh penyebaran agama islam di galuh, dan juga peristiwa-peristiwa yang
terjadi di galuh. Dimana dalam buku ini menambah wawasan dan pengetahuan
sejarah yang lebih luas lagi pada diri kita atau pada pembaca. Buku ini patut
diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si
pembaca yang mengakui bahwa buku ini sangat lah berharga dalam sejarah karena
menambah wawasan seseorang dalam sejarah sehingga pembaca dapat mengetahui
tentang sejarah penyebaran agama isla di daerah galuh. Informasi ini pembelajaran
dari buku yang ditulis oleh Apipudin itu. Dimana berkat buku Apipudin ini
seseorang atau pembaca ini dari tidak tahu tentang sejarah penyebara agama
islam di galuh kini mereka menjadi tahu tentang peristiwa-peristiwa di galuh. Oleh
karena itu, buku ini juga patut dijadikan Mega Best Seller. Apa lagi diberikan CD hal-hal di galuh yang membuat kita menjadi lebih ingin mengetahui tentang
kerajaan di galuh ini,
Meski penulis tidak membuat semua isi menjadi bentuk kalimat paragraf, tapi ada
yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca
untuk memahami isi dari cerita tersebut, dan mudah dicerna. Seluruh
peristiwa sejarah di galuh yang
diceritakan dalam buku ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh si
pembaca, karena di dalamnya memuat pengetahuan tentang sejarah penyebaran agama
islam di galuh sehingga membuat wawasan yang lebih luas lagi si pembaca .
Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui perkembangan islam di galuh, proses
penyebaran di galuh dan tokoh siapa saja yang terkait dalam sejarah di kerajaa
galuh ini. Maka dari itu, buku ini sangat cocok sekali bagi seseorang atau
pembaca yang kurang mengetahui tentang sejarahnya islam di galuh.
Kelebihan lain dari buku ini yaitu di mana penulis juga memberikan kata yang
penuh mutiara, selain itu juga terdapat pernyataan yang nyata yang bisa membuat
si pembaca memahami isi dari buku ini. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala
membaca buku ini. Penulis juga memberikan arahan kepada pembaca, apa yang harus
pembaca lakukan setelah memahami isi dari buku ini, setelah memahami satu per
satu tentang sejarah di kerajaan galuh yang telah dibaca. Dengan itu, maka
pembaca lebih mudah menerapkan dan memahami isi dan makna sejarah dari buku
ini.
Namun, di sisi kekurangan pada buku ini, penulis kurang
menceritakan faktor-faktor apa saja yang membuat penganut agama hindu lebih
sedikit dibandingkan penganut agama islam di galuh. Penulis hanya menuliskan tetang proses dan
perkembangan agama islam digaluh serta tokoh-tokoh penyebarannya. Jadi, kita kurang tahu apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penganut agama hindu lebih sedikit dibandingkan penganut agama
islam di galuh.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda